Mohon tunggu...
riska nuraini
riska nuraini Mohon Tunggu... Ahli Gizi - suka menolong orang

seorang yang senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cara Allah Menjaga Indonesia

28 Agustus 2020   02:01 Diperbarui: 28 Agustus 2020   01:59 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang dosen Fakultas Hukum Monash University Australia bernana Nadirsyah Hosen mengemukakan dalam media sosialnya (twitter) bahwa film Jejak Khilafah yang dibesut oleh para aktifis HTI kalah viral dengan film Tilik yang diproduksi oleh Ravacana Film Tercatat film Tilik yang diproduksi tahun 2018 dan baru diluncurkan 17 Agustus ini sudah diliat oleh 15 juta orang (dalam empat hari pertama dilihat oleh 4 juta orang) sedangkan Jejak Khilafah hanya dibawah 500 ribu orang.

Dosen Fakultas Hukum di Australia ini menyampaikan jika film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN) kalah viral dengan film produksi Ravacana Films tersebut. Viralnya film Tilik ini mengindikasikan bahwa orang lebih menaruh perhatian pada film ini dibanding yang lain. Selain itu viralnya Tilik dibandingkan Jejak Khilafah di Nusantara berarti bahwa banyak orang tidak mengindahkan atau tidak perduli dengan JKDN. Dengan kata lain menurut Nadirsyah Hosen itu cara Allah menjaga NKRI.

Tilik memang mengajak kita melihat diri kita sendiri  gambaran sempurna keseharian masyarakat Indonesia yang patriarkhi, yang masih suka bergosip, saling peduli, dan sederhana. Dari situ kita bisa belajar bagaimana sebaiknya kita bermasyarakat, peduli dengan orang sakit dengan cara menjenguknya, belajar untuk menaati peraturan lalu lintas dan sebagainya.

Viralnya film Tilik dibanding film JKDN memang sangat jauh dari prediksi mula-mula. Saat diproduksi JKDN memang benar- benar dilakukan sebagai film dokumenter propaganda. Sebagai film sejarah beberapa persiapan sudah dilakukan oleh tim produksi seperti misalnya narasumbernya yang kebanyakan adalah kader-kader HTI. 

Seorang professor sejarah Inggris bernama Peter Carey yang diwawancarai soal hubungan kekhalifahan Turki Utsmani dengan kesultanan Islam di Yogyakarta misalnya menyatakan bahwa wawancaranya tidak dikonfirmasi untuk kepentingan film itu, sehingga dia keberatan dicatut namanya pada film itu. Selain Carey ada satu orang lagi yang keberatan dia menjadi narasumber.

Yang dikatakan Hosen sebenarnya lebih dalam dari sekadar viral memviralkan sesuatu. Karena makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam, yaitu HTI yang telah dibubarkan Indonesia dan termasuk dalam organisasi terlarang, yang berniat menyebarkan propagandanya dengan mengkaitkan kita dengan kekhalifahan tidak bisa menyebarkan niatnya karena penyebarannya terbatas (amplifikasinya terbatas). Kita tahu mereka ingin memiliki big data dengan 'pembelian tiket gratis' untuk menonton film itu sehingga mereka bisa merencanakan sesuatu dengan big data itu. Tetapi karena Tilik lebih sukses mencuri perhatian public maka hasil JKDN diperkirakan tidak maksimal.

Allah memang mencintai Indonesia dengan segala keberagamannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun