Sebentar lagi, tepatnya pada 10 November, bangsa Indonesia akan memperingati hari pahlawan. Banyak hal yang bisa dipetik dari hari pahlawan. Jika kita mengingat ketika itu, arek-arek Suroboyo bersama para santri berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih.Â
Resolusi jihad yang dikeluarkan para ulama ketika itu, telah membuat para santri keluar dari pesantren, rela mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan NKRI yang ketika itu baru berumur jagung. Pertempuran yang dimenangkan oleh tentara dengan dibantu para santri dan arek-arek Suroboyo ono, kemudian dikenal sebagai pertempuran 10 November 1945 yang diperingati sebagai hari Pahlawan, hingga saat ini.
Pertempuran 10 November ini merupakan aktualisasi para pemuda ketika itu, untuk tetap menjaga keutuhan dan kemerdekaan NKRI. Lalu, bagaimana dengan pemuda di era milenial seperti sekarang ini? Apakah pemuda milenial masih peduli dengan keutuhan NKRI? Tentu saja eranya berbeda. Antara era kemerdekaan dan milenial. Saat ini, Indonesia sudah berkembang begitu pesat.Â
Kemajuan teknologi informasi telah merubah gaya hidup masyarkatnya. Sayangnya, perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat itu, seringkali disalahgunakan dengan menyebarkan hoax, provokasi dan pesan kebencian. Dan pada titik inilah, sebenarnya diperlukan peranan pemuda milenial, untuk bertekad membebaskan NKRI dari hoax, provokasi dan ujaran kebencian.
Hoax alias berita bohong ini tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga melanda seluruh negara. Di Indonesia, hoax terus mengalami peningkatan. Apalagi di tahun politik seperti sekarang ini, berita bohong seakan menjadi alat mujarab untuk menaikkan atau menjatuhkan elektabilitas pasangan calon.Â
Hoax juga bisa digunakan untuk mendiskreditkan orang atau kelompok tertentu. Hoax di Indonesia juga seringkali diberi sentimen SARA. Akibatnya hoax bernuansa SARA ini pernah menimbulkan konflik di tengah masyarakat.
Selain hoax, ujaran kebencian juga beriringan menganggu kenyamanan negeri ini. Sebelum memasuki tahun politik, ujaran kebencian di dunia maya ini seringkali dimunculkan oleh kelompok intoleran dan radikal di dunia maya. Keberadaan mereka memang begitu aktifi di media sosial, untuk bisa mendapatkan simpati anak-anak muda. Jika simpati itu sudah didapat, selanjutnya mereka akan aktif menebarkan propaganda radikalisme hingga mengarah provokasi untuk melakukan aksi.Â
Akibatnya, tidak sedikit dari anak muda yang menjadi korban provokasi propaganda radikalisme, berani melakukan tindakan persekusi bahkan aksi terorisme. Karena hampir sebagian anak muda muda yang menjadi teroris dalam beberapa tahun terakhir, mengaku mengenal radikalisme dan cara perakitan bom dari internet.
Untuk itulah, generasi milenial harus aktif memberikan penyadaran baru di media sosial. Tak dipungkiri, medsos menjadi salah satu tempat yang paling menyenangkan di Indonesia saat ini. Melalui medsos, semua informasi positif dan negative bercampur menjadi satu, termasuk hoax, hate speech hingga propaganda radikalisme.Â
Jika medsos yang digandrungi anak muda ini tidak diproteksi, penyebaran kebencian dan radikalisme tentu akan semakin mengkhawatirkan. Untuk itulah perlu diperbanyak narasasi tentang keberagaman dan perdamain. Menebar pesan damai di dunia maya, merupakan salah satu kontribusi positiif generasi milenial. Generasi milenial jangan mau menjadi korban. Tapi jadilah pahlawan milenial yang memberikan kontribusi positif bagi negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H