Semuanya sepakat bahwa kasing sayang seorang ibu kepada anaknya tak terbatas. Semuanya juga sepakat bahwa tidak ada ibu yang sengaja menjerumuskan anaknya ke hal yang tidak baik. Sejak dari dalam kandungan hingga akhirnya lahir, sejak dari bayi hingga dewasa, seorang ibu selalu senantiasa memberikan perhatian lebih kepada anaknya.Â
Wajar jika seorang ibu akan lebih tahu perkembangan anaknya secara detil. Baik itu perubahan secara fisik, ataupun perubahan perilaku. Karena sedari kecil seorang ibu pasti telah menanamkan fondasi yang kuat, agar bisa tetap jadi pegangan si anak hingga dewasa.
Di era milenial seperti sekarang ini, anak tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan teknologi. Sedari kecil, anak sudah begitu familiar dengan yang namanya smartphone ataupun gadget yang lain. Tak heran jika anak-anak sudah bisa browsing, mencari lagu anak di youtube, hingga menirukan gaya-gaya idola mereka. Semuanya itu bisa dilakukan berkat kemajuan teknologi. Bahkan, para orang tua pun tak jarang sudah membekali anaknya dengan smartphone sejak dini. Akibatnya, tidak sedikit dari anak-anak sudah kecanduan game di usia dini.
Ketika memasuki usia remaja, teknologi juga terus menemani para generasi muda. Media sosial telah mampu merebut hati para remaja. Mereka suka membuat status, suka berinteraksi dengan teman dari mana saja, dan bisa melakukan ekspresi sesuka hatinya. Ada yang mengekspresikan secara tulisan, ataupun secara audio visual. Jika dulu anak-anak muda mengenal istilah blog, sekarang terus berkembang menjadi vlog. Dan tidak sedikit pula, anak muda lebih suka menghabiskan waktunya di dunia maya, dari pada di dunia nyata.
Pada titik inilah, seorang ibu dituntut untuk terus memberikan perhatian ke anak-anaknya yang mulai menginjak remaja. Kenapa? Karena di usia inilah, seorang anak mulai mencari jati diri. Si anak mulai aktif melakukan ekspresi. Dan mulai berusaha untuk menujukkan eksistensinya.
Dan pada saat yang bersamaan, informasi di dunia maya terus berkembang begitu pesat. Informasi apa saja bisa kita temukan. Mulai dari informasi yang mengandung unsur pendidikan hingga kebencian. Mulai informasi yang penuh dengan ispirasi, hingga informasi yang penuh dengan amarah bisa kita lihat.
Jauh sebelum pilkada DKI Jakarta, provokasi radikalisme begitu marak di dunia maya. Ajakan untuk berjihad ke Suriah, hingga jihad untuk melakukan aksi peledakan muncul dimana-mana. Provokasi yang dilakukan oleh kelompok radikal yang terhubung dengan jaringan terorisme ini, telah berhasil menjadikan anak-anak Indonesia sebagai korban. Mereka pergi ke Suriah lalu bergabung dengan kelompok ISIS. Mereka belajar cara merakit bom, lalu mencoba untuk meledakan di tempat umum.
Di tahun politik ini, pola yang sama mulai bergeser atau mungkin sengaja di geser, untuk mengganggu stabilitas keamanan. Persatuan dan kesatuan negeri ini diuji dengan masifnya ujaran kebencian. Ironisnya, semuanya itu dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Ada yang bertujuan untuk menjatuhkan elektabilitas paslon, ada yang murni untuk kepentingan ekonomi, hingga untuk mengganggu stabilitas nasional.
Untuk itulah, para orang tua tetap harus memberikan perhatian lebih ke anak-anaknya. Jika perilaku dan ucapannya sudah mulai bernuansa SARA, harus diberi pengertian. Jika informasi hoax telah berhasil menganggu pikirannya, harus diarahkan untuk mencari informasi yang valid. Di era milenlial seperti sekarang ini, kasih sayang seorang ibu tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk perhatian, tapi juga harus mampu mengarahkan anaknya untuk gemar melakukan literasi media. Dengan literasi media, anak akan punya fondasi kuat dalam menangkal setiap informasi hoax dan ujaran kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H