Lagi-lagi banjir, lagi-lagi pembunuhan, lagi-lagi perampokan, lagi-lagi pemerkosaan! Kisah sedih negeri ini seolah dijadikan komoditi yang laku keras di pasaran. Meminjam larik puisi “Selamat Tinggal” karya Chairil Anwar; Aku berkaca. Ini muka penuh luka. Siapa punya? Itulah wajah Indonesia dalam sorotan media. Mungkin puluhan penghargaan yang dicapai oleh seorang gubernur dinilai sebagai hal lumrah yang sewajarnya dilakukan pemerintah, sehingga pemberitaannya menjadi tidak seru dibandingkan dengan berita-berita korupsi.
Di tengah gegap-gempita media massa yang cenderung mengekspos kegagalan pemerintah, tidakkah masyarakat menjadi ditakut-takuti, apakah negeri ini masih menyisakan sedikit ruang aman? Dengan banyaknya pemberitaan buruk mengenai negeri ini, terlepas dari tujuannya sebagai kontrol sosial, dikhawatirkan akan terbentuk cara pandang masyarakat yang pesimistis; negeri ini sudah susah untuk bangkit, susah untuk maju! Padahal negeri ini lebih butuh optimisme kolektif untuk berkembang dan maju ketimbang kesadaran akan suasana yang semakin "mengerikan".
Sekarang, meskipun pembangunan masih tertatih dan kadang merangkak, mari berhenti mengeluh. Para pemimpin melaksanakan kewajibannya untuk terus bekerja dan berprestasi. Lalu media massa, sebagai pengkonstruksi opini publik, selayaknya mengambil peran sebagai penyebar inspirasi agar bangsa ini tumbuh menjadi bangsa yang optimis. Pertanyaannya, akankah pemberitaan mengenai kemajuan pembangunan dan tindak-tanduk simpatik para tokoh bangsa, masih ramai-ramai dicap sebagai “politik pencitraan”?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H