Honor berarti honorarium yang artinya upah sebagai imbalan jasa (yang diberikan kepada pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer). Honor juga berarti upah di luar gaji. Sedangkan tenaga honorer dalam hal ini guru honorer sesuai asumsi umum adalah tenaga kerja/karyawan yang bekerja di suatu institusi pemerintah/swasta tanpa diberikan gaji kepadanya dan pendapatannya hanyalah berasal dari kebijakan atasan yang mengangkatnya. Namun belakangan, telah terjadi pendataan tenaga honorer di lingkungan sekolah yaitu jumlah tenaga kerja yang termasuk kategori I, kategori II dan non-kategori (tenaga honorer kategori III).
Kata Honorer mungkin sudah tidak asing lagi terdengar bagi kita semua. honorer adalah metode penggunaan sumber daya manusia yang berasal dari pihak yang besangkutan (pihak pertama) untuk menangani atau membangun sistem perusahaan atau dinas dengan cara bekerja secara langsung. Terdapat beberapa kebijakan yang dirasa memberatkan honorer antara lain adalah:
· Tidak Ada Jenjang Karir
Sebagai honorer diberlakukan sistem kontrak pekerjaan dari dinas, dimana kondisi ini akan mempersulit setiap honorer untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi dan bahkan tidak mungkin. Kondisi inilah yang akhirnya menempatkan posisi honorer hanya sebagai buruh pada suatu instansi dinas yang tidak memiliki jenjang karir.
· Masa Kerja Yang Tidak Jelas
Menjadi honorer sangat rentan terhadap pemecatan, bahkan dinas atau pejabat pptk bisa melakukan pemecatan dan memutus masa kerja honorer jika dinas dalam keadaan alih kekuasan. Hal ini dikarenakan tidak adanya landasan hukum yang kuat dalam menaungi hak-hak dari karyawan honorer.
· Kesejahteraan Tidak Terjamin
Karyawan dengan status honore biasanya tidak begitu diperhatikan kesejahteraannya oleh dinas maupun pemda. Sangat jarang sekali dinas maupun pemda yang memberikan tunjangan kepada karyawan honorer. Dengan jumlah gaji yang tidak terlalu besar serta tidak adanya tunjangan, pastinya akan mengurangi kesejahteraan setiap karyawan honorer.
· Pendapatan Yang Terbatas
Menjadi karyawan honorer memang seringkali merupakan tuntutan. Sulitnya mencari pekerjaan di jaman sekarang ini memaksa para pencari kerja untuk memutuskan menjadi honorer. Dengan jam kerja yang sama dengan karyawan tetap, menjadi karyawan honorer dinilai tidak relevan dalam hal pendapatan.
Bagi dinas ataupun pemda, merekrut karyawan honorer memiliki keuntungan yang lebih besar. Dari segi perekrutan,dinas/pemda. Jam kerja karyawan honorer sama dengan PNS,tapi untuk keahlian honore lebih baik daripada PNS. Ketika karyawan honorer telah resign, dinas/pemda tidak perlu memberikan pesangon. Hal ini tentu lebih memberatkan bagi karyawan honorer sehingga pemerintah perlu lebih memperhatikan kesejahteraannya.
Kali ini Saya hanya akan membahas tentang status Honorer yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh yang mengangkatnya. Seperti yang baru saja terjadi di salah satu instansi Pemerintah Provinsi Riau, dilingkungan Dinas Pendidikan Provinsi Riau.57 orang staf honorer telah dipecat tanpa alasan yang jelas, proses pemecatan melelui beberapa test yang rumit. Yang sangat tidak relevan.dan tidak dilihat berdasarkan pengalaman, dan masa kerja, rata-rata masa kerja honorer ini 8 tahun. Yang selalu konsisten dengan pekerjaanya. dimana saya juga merupakan salah satu 57 orang tersebut. Lalu, seberapa burukkah kinerja honorer hingga dapat diperlakukan seperti itu? Honorerkah yang tak memiliki kapabilitas?
Keberadaan tenaga honorer memang menjadi dilema tersendiri di negeri ini. Bahkan akhir-akhir ini telah membuat pusing Pemerintah dengan banyaknya tenaga honorer yang minta diangkat menjadi PNS. Proses pengangkatan honorer ini pun telah dibagi menjadi 3 kategori. Tenaga honorer kategori I adalah tenaga kontrak daerah per 1 Januari 2005 dengan upah dari APBN yang kepadanya berhak diangkat langsung menjadi CPNS, sedangkan tenaga honorer kategori II adalah tenaga honorer yang diangkat per 1 Januari 2005 dan tidak mendapat upah dari APBD/APBN. Untuk tenaga honorer kategori II apabila ingin diangkat menjadi CPNS harus mengikuti testing. Sedangkan tenaga honorer yang diangkat selepas kurun 2005-2008 termasuk ke dalam tenaga honorer kategori III (non-kategori).
Walau bagus untuk menyerap tenaga kerja, namun keberadaan tenaga kerja honorer menjadi preseden buruk untuk isu-isu ketenagakerjaan. Memang ada kesan menyamakan tenaga kerja honorer dan tenaga kerja outsourching. Walau sebenarnya telah jelas bahwa tenaga kerja outsourching pun merupakan tenaga kerja honorer.
Di Indonesia, jaminan asuransi, kesehatan, kehamilan dan pendidikan tenaga kerja honorer tidak ada. Bahkan hak-hak bersertifikat bagi tenaga kerja honorer pun terkadang dipersulit. Hal ini tentu sebagai akibat dari status tenaga kerja honorer itu sendiri yang kurang jelas.
Keberadaan tenaga kerja honorer dapat menjadi sangat bermanfaat. Tenaga honorer biasanya memiliki kualifikasi kemahiran tertentu. Sehingga tugas-tugas khusus yang tidak dapat diselesaikan oleh PNS dapat diselesaikan oleh tenaga kerja honorer. Sehingga penyelesaian pekerjaan lebih efektif dan efisien.
Namun tenaga kerja honorer memiliki kelemahan tersendiri. Status mereka yang belum tentu diangkat menjadi PNS tentulah memberikan angan-angan palsu. Hal ini tidak begitu baik terhadap pemerintah, mengingat pemerintah harus menjamin kesejahteraan rakyatnya termasuk pula didalamnya adalah tenaga kerja honorer. Bagaimana mungkin pemerintah yang mendengung-dengungkan tentang kesejahteraan, namun mereka sendiri yang mengabaikan kesejahteraan pegawainya. Gaji honorer sejauh yang pernah saya terima adalah sebesar Rp. 700.000/bulan dibayarkan selama 10 bulan. Hal ini tentu sangat tidak layak untuk kesejahteraan.
Tidak hanya itu, jangankan untuk diangkat menjadi PNS. Tenaga kerja honorer dapat dipecat sewaktu-waktu oleh pejabat yang berwenang. Seperti yang terjadi pada kasus yang saya jabarkan di awal.
Mengingat pengangkatan honorer dapat dilakukan oleh kepala instansi. Sehingga kepala instansi dapat mengangkat honorer yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan. Maka ketika honorer tersebut diberhentikan oleh yang mengangkatnya, siapakah sebenarnya yang salah? Apakah honorer yang tak lagi memiliki kapabilitas yang cukup, atau mereka yang mengangkat terlalu otoriter dan tidak tahu berterima kasih?
Maka benarlah bahwa keberadaan tenaga kerja honorer harus di tinjau ulang. Pemanfaatan Sumber Daya Manusia harus dikelola sebaik-baiknya. SDM yang memiliki kapabilitas dan memenuhi kualifikasi seperti honorer sudah saatnya untuk dipertegas statusnya. Agar Pemerintah dapat memanfaatkan kemahirannya secara maksimal. Pemerintah juga tidak akan menjadi kacang lupa kulit. Ketika tak lagi memerlukan kemampuan tenaga honorer, mereka kemudian dicampakkan begitu saja.
Dari berbagai kerugian-kerugian menjadi honorer diharapkan pemerintah dapat memberikan naungan hukum yang kuat untuk memperjuangkan hak dari para honorer guna peningkatan kesejahteraan honorer, serta mengawasi dalam pelaksanaannya.