Mohon tunggu...
Maria Weni
Maria Weni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

hidup itu seperti puzzle...atau episode dalam naskah drama. Tuhan dalangnya, manusia wayangnya..\r\nwww.risdyaweni.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku Semahal 500 Karton Apel Fuji

4 Januari 2013   08:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan harap mendapat respon dariku hari ini. Permintaan atasanku saja sudah tidak kutanggapi lagi. Pandangan kosong, mengais aliran-aliran angin untuk mengisi otakku yang sudah nyaris tak bertuan.

“Gia, apa yang kamu lakukan dengan orderan 500 karton apel fuji itu?”, suara melengking wanita berusia 10 tahun lebih tua dariku ini membangunkanku dari lamunan.

Ya ampun, kemarin salah order, 50 karton menajdi 500 karton. Oh My God, dalam sekejab angin-angin pekat mengisi otakku. Menjadi gelap dan perlu cairan pemutih atau tawas untuk menjernihkannya.

“Pokoknya, harus kamu selesaikan segera. Cari cabang lain atau kamu display dengan ‘waw’ agar semua orang bisa berkata ‘waw’”, suara ketus dan kesal bos pimpinan divisiku ini memaksaku berpikir keras. 500 karton sama dengan dua puluh juta sekian rupiah.

Besarnya… harus aku habiskan dalam waktu 3 hari? Sukses membuang semua pikiran tentang ‘bagaimana memutuskan hubungan dengan pria yang sangat baik’. Tapi hanya sekejap, aku kembali lagi berpikir, terserah apel-apel ini akan menimbunku atau menghantamku di gudang karena banyaknya. Aku harus menyelesaikan hambatan hatiku ini dulu.

Dia sangat baik, tidak ada yang salah dengannya. Siap menjemputku, dan mengantar aku pulang jika kerjaku sampai larut malam. Menemani saat aku memerlukannya, meskipun kadang hanya lewat sms karena dia harus berada di luar kota. Aku percaya diapun tidak akan selingkuh. Aku adalah yang pertama buatnya.

Dua bulan berlalu, tidak ada yang berubah, dia hanya ojek special yang datang ketika aku membutuhkan. Teman berbicara ketika tidak ada teman mengangkat teleponku ataupun membalas smsku. Tapi dia tidak menemaniku ketika berjalan bersama teman-temanku. Aku nonton film di bioskop tanpa dia, aku menghabiskan malam minggu tanpa dia.

Aku malu mengajaknya, aku bingung mengajaknya berakhir pekan dengan keglamoran Jakarta. Aku punya karir, punya materi dan punya pergaulan para pekerja Jakarta. Sementara dia, lulus kuliah saja belum, pergaulan masih kalangan mahasiswa, apalagi penghasilan. Aku tidak akan mengajaknya, aku malu. Dia sangat baik, tapi baik saja tidak cukup.

Sekarang, bulan ke-3, sebentar lagi dia lulus. Aku harus rela mengatakan bahwa aku egois. Aku bukannya matre, tapi rasa itu sudah hilang seperti apel yang terlalu lama dikunyah. Tidak cocok juga hal yang manusiawi kan?

Gerimis rasanya menambah syahdu peristiwa nanti. Jari-jariku tidak bisa berhenti memutar cangkir berisi kopi tubruk bikinan Ny. Marni, warung langganan mahasiswa. Kebulatan tekad sebesar 500 karton apel Fuji semoga tidak kurang. Hari ini aku menunggu kehadirannya untuk mengakhiri hubungan ini.

Diujung sana aku lihat kedatangannya. Kaos kucel, jeans belel ala mahasiswa, dan wajah yang sepertinya belum dicuci dengan seksama. Degupan jantungku semakin kencang melihat senyumannya. Bukan degupan karena jatuh cinta, tapi karena takut mengakui keegoisanku, takut kenyataannya menyakiti hatinya.

“Hai Gi, udah lama? Sorry tadi aku nganter alat penelitian yang mau dipake sama adik kelasku”, Sapa lelaki dengan tinggi badan di atas rata-rata ini. Jonny, selalu merepotkan dirinya dengan alasan membantu taman baik, padahal yang butuh itu kan adik kelasnya, tetapi kenapa dia yang musti repot-repot nganterin.

“Ga apa-apa Jon, belum lama koq. Mau minum apa? Udah makan? Pesan aja”, aku menyodorkan buku menu padanya.

“Btw, tumben sampe datang ke Bogor, kangen ya?”, candanya sambil mendekatkan mukanya ke pandanganku.

Gila ini jantung makin deg-degan, ga tau mau mulai dari mana mengatakan. Ga tega, itu kata yang tepat. “Ayo Gia, harus dewasa, harus bisa memutuskan jalanmu”, aku berkata dengan kata hatiku sendiri.

“Jon, kita evaluasi ya hubungan kita,” akhirnya kalimat yang menjurus keluar. Evaluasi, emangnya hasil penjualan dan breakage dagangan harus dievaluasi?

“Ada apa Gia? Menurutmu gimana? Ada yang salah?aku merasa baik-baik saja” Jonny penasaran bertanya dengan wajah menyelidiki.

“Kamu baik Jon, sangat baik, terlalu baik buatku”, kalimat yang klasik kalau putus, kuucapkan juga.

“Aku ga bisa melanjutkan, aku ga nyaman dengan semuanya. Kamu jauh di bawahku dan harus berlari untuk mencapaiku. Aku butuh seseorang yang bisa aku andalkan. Bukan orang yang selalu mengikuti apa yang aku mau.”

Aku menunduk, merasa bersalah. Menyakiti hatinya, padahal ini pertama kali dia berpacaran. Tidak berani menatap wajah Jonny.

“Tidakkah bisa diperbaiki?” tanyanya dengan suara lembut.

“Tidak, akan sangat sulit, aku mau membebaskanmu, mendapatkan yang tebaik buat mendampingi hidupmu.” Akhirnya aku berani menatapnya. Lekuk garis matanya terlihat sendu.

Tidak, dia justru tersenyum. Memamerkan rentetan giginya yang putih.

“love is giving, Gia. Terima kasih telah mendukungku sampai lulus kuliah. Usia kita sama, meskipun aku masih berkutat dengan SKS dan kampus. Aku menyadari, kamu jauh melebihi aku, aku banyak belajar padamu. Kamu menjadi inspirasi buatku untuk segera lulus kuliah. Maaf aku belum membalas semua kebaikanmu. Aku selalu ada jika kamu butuhkan. Mungkin tidak bisa menahan langkahmu, tapi aku bisa menemanimu berlari. Aku tidak bisa menghapus air matamu, tapi aku bisa jadi temanmu menangis bersama.”

Kata-katanya diucapkan dengan tenang, dalam, justru menyayat hatiku. Aku terdiam, jauh di lubuk hatiku ada rasa perih. Aku memilih untuk melewatkan pria yang baik ini karena saat ini hanya baik yang aku rasakan. Tapi itu adalah pilihanku, tidak ada yang salah, justru jalan yang kupilih ini akan berarti jika aku menjalaninya dengan benar dan yakin.

“Gia, kita tetap menjadi teman kan?” Jonny mengulurkan tangannya .

“Ya, sahabat selamanya” aku menyambut uluran tangannya dengan wajah ceria. Semoga terlihat begitu. Karena itu gambaran wajah yang ingin aku tampilkan, tetapi entah bagaimana terbacanya.

Satu langkah lagi, apel fuji 500 karton siap menungguku. Paling tidak apel fuji itu sudah lebih cerah, seperti hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun