‘Kenang-kenangan’ toleransi umat beragama
Saya terkejut keheran-heranan saat beberapa teman saya yang beragama Islam berbaris di depan saya, menyedekapkan tangan di dada lalu dengan takzim menyenandungkan lagu : “Malam kudus...” Frasa awal lagu natal itu mereka senandungkan dengan pelan dan syhadu. Dalam hati saya sempat berpikir, mujijat apa yang sedang terjadi? Mungkinkah damai natal telah begitu dirasakan oleh umat manusia, bahkan oleh mereka yang bukan pengikut Al-Masih? Saya akhirnya kembali tersadar setelah mereka menyanyikan frasa kedua, masih dengan gayanya yang syhadu: “Banyak tikus... di kardus.” Saya terkekeh sembari melempar gumpalan kertas dan benda-benda lainnya ke arah wajah mereka. Kami pun siap untuk canda-caci berikutnya.
Itulah secuil pengalaman masa kanak-kanak di desa kecil Sumatera Utara. Toleransi umat beragama bagi kami bahkan sampai menyentuh batas-batas yang secair itu. Kami biasa saling mengejek agama lain tanpa harus khawatir terjadi perkelahian besar. Banyak bahan candaan tentang agama yang begitu menghibur, yang kalau saya tuliskan sekarang disini alamat saya akan mendapat hujatan. Entahlah... teman-teman kecil dan para tetangga saya dulu ternyata lebih toleran ketimbang kebanyakan orang terpelajar masa kini.
Orang-orang yang dulu pernah tinggal di wilayah “pembauran” di Sumatera Utara (mungkin juga orang dari tempat lain juga merasakannya) lalu sekarang ada di daerah lain di Indonesia, terutama kota-kota besarnya mungkin akan merasakan kehilangan yang juga semakin saya rasakan ini. Betapa sekarang fragmentasi dan kepongahan eksklusif telah menjadi ciri “kealiman”. Betapa keyakinan akan “kebenaran” Kitab Suci seolah jadi rujukan untuk menyalahkan pihak lain. Betapa ketidaktahun akan kepercayaan yang berbeda seolah telah menjadi kewajiban bagi murninya “iman”.
Sebuah pamflet di pemukiman mahasiswa,“Terima Kost, khusus Agama X,” membuat saya harus membuang kenangan indah sebagai seorang anak kecil Nasrani yang boleh dengan bebas tidur-tiduran di Masjid Nurul-Huda milik desa kami. Spanduk provokatif yang menolak keberadaan rumah ibadah memaksa saya melupakan malam-malam dimana ibu saya dan para ibu lainnya sangat repot menyediakan penganan untuk para pemuda muslim yang sedang membantu pembangunan Gereja Oikumene. Protes akan pengunaan patung dari mitologi pewayangan sepertinya telah menindih memori saya akan Kak Er, seorang pendongeng dan guru ngaji yang fasih, yang sering sekali mengutip hikayat Melayu dan Batak untuk mengajar murid-murid mengajinya (saya selalu datang untuk curi-curi dengar). Sumbangan bencana yang disisipi ayat-ayat suci serta ajakan untuk pindah agama harus melenyapkan ingatan akan keikhlasan tetangga saya (yang berbeda agama) menolong kami saat ayah harus dirawat di rumah sakit. Berminggu-minggu ibu selalu menjagai ayah, dan kami dijagai oleh Uwak tetangga kami yang amat baik itu, mulai dari makan, bersekolah, tidur hingga buang hajat.
Tidak adakah warga yang fanatik di kampung kami? Ada, pastinya ada. Tidak adakah orang yang pindah keyakinan disana? Jelas ada. Apakah tidak ada yang benar-benar taat hingga sangat rajin mendakwahkan agamanya? Itu juga ada. Jumlahnya mungkin hampir sama atau sedikit kurang dibandingkan dengan persentase orang-orang yang seperti itu yang ada di jaman sekarang. Tapi jelas ini bukan bicara soal jumlah namun menorehkan bukti semakin memudarnya perasaan sebagai saudara sebangsa, sekedar karena penghayatan agama dan budaya secara sempit. Semakin memudar pula kepentingan dan kegentingan untuk tetap mempertahankan negeri ini sebagaimana dicita-citakan di mulanya.
Sayang kesemakinpudaran ini selalu dianggap tak ada, dianggap tak serius. Sedikit sekali pemimpin dan ulama yang memiliki beban besar untuk menyadarkan dan mencontohkan sikap toleran yang bisa memahami umat beragama lain. Tidak di yang mayoritas, tidak pula di yang minoritas. Ah... masyarakat kita sebenarnya terbilang mudah diarahkan, hanya butuh waktu. Masih tegakah kita sekedar menyetir?
Saya sebenarnya ingin berseru lebih banyak soal toleransi. Mengusulkan beberapa hal. Namun entah kenapa selama saya mendiskusikan hal ini, saya selalu menjumpai kebuntuan dan penolakan. Bahkan untuk masalah-masalah sekunder seperti soal konflik Palestina, siapa yang mewariskan kemajuan filsafat Yunani, apa agama Sisingamangaraja, bolehkah umat Nasrani memakai nama Allah, bahkan sekedar kedatangan Obama, kita sudah sangat rentan untuk memperalat agama demi memaki. Ah, rapuhnya kita kini.
Jadi saya hanya sekedar membagi kisah. Saya selaku umat Al-Masih tidak akan pernah melupakan gubahan kreatif lagu ‘Malam Kudus’-nya Franz Gruber ala teman-teman saya yang beragama Islam itu. Syair nakal itu adalah ejekan yang selalu kami maknai sebagai canda antar umat berbeda agama namun bersaudara. Sekarang syair nakal itu juga menjadi ejekan miris bagi mudahnya kerukunan itu terusik kini.
Saya yakin entah berapa juta teman lain pasti pernah merasakan keindahan toleransi seperti itu. Entahlah kalau keadaan sekarang memaksa Anda semua melupakannya, atau sekedar menyimpanya di laci-laci kenangan terkunci dari jangkauan penerapan. Entahlah kalau kebanyakan menganggap toleransi sekedar menghargai beda asal tak berbenturan. Entahlah kalau kebanyakan orang malah merasa toleransi adalah produk kesesatan. Saya tetap menghayati kisah masa kecil itu. Tetap berusaha menampilkan dan mewujudnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H