Refleksi atas Sebuah Lagu di Star Academy Arab World (Al-Akademiyah) 8 Musik mengalun lembut, dua orang berdiri berhadapan di belakang mereka mereka memberkas pancaran latar bergambar bulan sabit dan salib. Lalu dua orang, yang satu lelaki, yang satu perempuan, mulai bernyanyi:
Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Ave Marīa …
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Grátia pléna, Dóminus técum.
Asyhadu’alla ilaha illallah
Benedicta tū in mulieribus, et benedictus frūctus ventris tuī, Iēsus.
Asyhadu’anna Muhammadar Rasulullah
Sāncta Marīa, Sāncta Marīa, Marīa , ōrā prō nōbīs peccātōribus
nunc et in hōrā mortis nostrae.
Lailaha ilallah…
Amen…
Allah…
Tepuk tangan penonton berkali-kali menggempita, kualitas vokal kedua penyanyi itu memang sangat tertampil dalam medley lagu ini.
Itu terjadi di pembukaan Star Academy Arab World (Al-Akademiyah) kedelapan, 1 April 2011. Penyanyinya adalah seorang pria muslim dari Syria, Mohammad Dakdouk, dan seorang perempuan berkebangsaan Mesir, Nesma Mahgoub, yang akhirnya menjadi pemenang ajang pencarian bakat ini.
Sampai sekarang saya kesulitan mencari tahu identitas keagamaan dari Nesma. Nama depannya adalah nama Arab umum (“nesma” artinya kira-kira “angin semilir”), bukan Aisyah, Fatimah, dll yang sudah pasti merupakan nama Islami. Namun nama belakangnya juga marga umum penduduk Mesir, bukan Salib, al-Fadi, Girgis, atau Buthros yang biasanya dimiliki oleh umat Al-Masih Mesir yang bermahzab Koptik. Marga “Mahgoub” di Mesir mungkin mirip dengan “Siregar” kalau di tanah Batak, kita tak langsung tahu apa agama seorang Siregar, jika hanya tahu marganya. Jadi Nesma memang bisa saja seorang umat Nabi Muhammad, bisa pula seorang umat Al-Masih (baik yang bermahzab Katolik maupun yang Orthodoks, atau bahkan seorang Protestan), dan sebenarnya itu jadi tidak terlalu penting terkait refleksi kali ini.
Pertama kali menonton video ini, saya sempat bertanya-tanya, apakah ini bagian dari kekonyolan Satu April, sebab cara menunjukkan toleransi seperti ini memang terbilang vulgar. Ini mirip dengan yang dilakukan oleh sebagian imam Kanisah Koptik, saat menyelenggarakan hikmatul quddus (misa) Ahad di Alun-alun Tahrir. Waktu itu dalam seruan menentang pemerintahan Mubarrak, mereka bahkan sempat mengucap: “Dalam nama Al-Masih dan Muhammad …” Sangat vulgar bukan? Buat umat Al-Masih dan umat Nabi Muhammad yang bukan berasal dari Mesir atau Levantin (Libanon, Syria, Palestina dan Yordania), seruan seperti itu jelas dianggap sebagai sebuah bentuk sinkretisme, pencampuran sekaligus pencemaran akidah. Bukankah kira-kira demikian juga kalau di Indonesia? Wah, lalu apa rupanya yang menjadi pembeda hingga seruan seperti itu bisa dilakukan di sana?
Tanya kedua yang menyeruak adalah, kalaupun ingin menunjuk harmoni, mengapa lagu yang dipilih adalah cuplikan dari Azan dan Doa Salam Maryam? Secara logis sebenarnya keduanya tidaklah paralel. Azan (yang didalamnya ada dua kalimat syahadat) adalah seruan universal dan dipakai oleh semua mahzab umat Nabi Muhammad, sedangkan Doa Salam Maryam, hanya dikenal dan dipraktikkan secara utuh di umat Al-Masih yang bermahzab Katolik Roma (di kalangan Orthodoks doa ini bersifat opsional, sedangkan di Kanisah Assyria Timur dan gereja-gereja Protestan, umumnya doa ini tidak digunakan). Kalau mau paralel dari segi keuniversalan, seharusnya Nesma menyanyikan Shallatul Rabbaniyah (The Lord’s Prayer, Doa Bapa Kami), toh di kalangan umat Al-Masih doa yang diyakini diajarkan langsung oleh Al-Masih ini sudah begitu sering dilagukan.
Yang juga menggelitik adalah mengapa Nesma menyanyikan Doa Salam Maryam dalam Bahasa Latin? Seolah harus dikontraskan dengan Dakdouk yang menyeru dalam Bahasa Arab. Sebagai seorang berbahasa Arab yang sering menyanyikan lagu-lagu opera dan himne, tentu saja Nesma bisa menyanyikan doa itu dalam Bahasa Arab (Assalamu’allayki ya Maryam… dst), bahkan dalam langgam yang lebih Arabia, sebagaimana biasa dilakukan di kanisah Melkit, Katolik Koptik atau Maronit. Orang yang kurang memahami tradisi umat Al-Masih yang berbahasa ibu Arab, tentu tidak begitu menangkap kejanggalan ini, sebab bagi kebanyakan mereka penyandingan ke-Masehi-an dan keislaman sering dimaknai sebagai relasi antara Latin (baca: Barat) dengan Arab (baca: Timur), bahkan lebih parah lagi relasi antara kaum penjajah dan terjajah.
Maka disitulah keistimewaan penampilan dua-setengah-menitan ini. Jika ditelisik lebih jauh sebenarnya penampilan ini mengangkat fenomena kehidupan dan dialog antar umat Ibrahimik, khususnya antara umat Nabi Muhammad dan umat Al-Masih, yang sering kali bercelah. Reaksi orang dari kedua umat saat menonton penampilan ini akan jadi beragam. Ada yang akan memberi tepukan sekedar sebagai penghargaan atas karya seni, sebab secara musikal memang lagu ini terbilang bagus. Ada yang akan mengharamkannya mengingat ini pencideraan tauhid dengan mariologi. Ada pula yang memandangnya sebagai simbol kesatuan yang mau tak mau harus disetujui dan diusahakan karena sekarang itulah kenyataan yang kita hadapi (tentu mereka tidak mau menyinggung lebih jauh soal aspek akidah).
Padahal dengan menghayati lebih dalam dan belajar dari umat yang kini berbahasa Arab (sebagaimana ingin ditunjukkan penampilan ini) orang bisa pelan-pelan mengurai keruwetan dialog Al-Masihin dan Muhammadin, bahkan bisa sampai pada titik awalnya. Di sini diantara Levantin dan Semenanjung Arabia, tempatdimana kedua umat bermula. Jika Anda tidak puas hanya dengan sebuah keharmonisan yang sekedar berarti tidak ada perang, jika Anda merasa terlalu dangkal bila kerukunan kedua umat sekedar diartikan saling menghargai tanpa perlu menoleh pada tuduhan-tuduhan kesesatan akidah, maka kita dapat mengurai pelan-pelan dengan menggiring kedua lagu ini kembali ke haribaan sejarahnya. Setidaknya upaya penguraian kesalahpahaman bisa dimulai dengan pengakuan yang sama, pengakuan yang ditonjolkan oleh kedua lagu. Bahwa baik umat Nabi Muhammad dan umat Al-Masih keduanya mengaku menyembah satu Tuhan dan keduanya mengakui kelahiran Al-Masih dari seorang perawan.
Maka cerita pun bisa direntang-urai ke tuduhan Qur’an yang sebenarnya diarahkan pada bidah Kollidrian (salah satu bidah dalam umat Nasrani di Mekkah yang menyembah Trinitas Palsu – Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Tuhan Ibu) dan bukannya mahzab Nasrani yang benar. Bisa ditelisik hingga sampai pada kesamaan ritual dan pokok-pokok iman mendasar antara Muhammad dan Uskup Waraqah bin Naufal. Bisa memperkaya cara pandang orang yang mengira umat Al-Masih itu hanyalah kaum Kristen Barat. Bisa … asal memang berniat mengurai kesalahpahaman bukan malah meruwetkannya dengan cara pandang sektarian.
…
Sebenarnya orang Timur tak perlu harus mentah-mentah mengadopsi konsep pluralisme ala Barat untuk mempertahankan kerukunan. Lebanon, tempat acara ini diadakan adalah contoh kecil betapa lebih dari seribu tahun kerukunan antar umat Nabi Muhammad dan umat Al-Masih terpelihara, bahkan sebelum dunia tahu apa itu piagam HAM. Justru setelah hukum ala demokrasi Barat itu diterapkan, konflik lintas agama jadi lebih sering terjadi (meski tentu saja itu bukan satu-satunya alasan). Nah…
Dalam hal kerukunan umat beragama, konsep pluralisme Barat mungkin saja ampuh dari aspek praktis dan individualnya (walau sampai sekarang itu juga masih terus diuji). Yang diperjuangkannya adalah kesetaraan kemanusiaan, tak peduli apa akidahmu, sebagai manusia kita setara, dan hak-hakmu haruslah dibela. Tapi di Timur, kecuali Anda mau sepenuhnya menerapkan logika Barat, hal seperti itu tidaklah cukup. Kebanyakan masyarakat kita butuh pemahaman yang sifatnya komunal dan memiliki landasan keagamaan. Maka dari itu anjuran dan teladan kerukunan yang menyejukkan serta upaya bersama untuk mengurai kesalahpahaman adalah dua hal yang patut ditambahkan demi kerukunan umat.
Dengan seni suara yang indah Nesma Mahgoub dan Mohammad Dakdouk melemparkan fenomena (kehidupan dua umat) yang (kini terlihat) kontras itu di hadapan kita. Kita bisa saja memuji seninya, menghujat tindakannya, menerima begitu saja, atau turut andil dalam mengurai warna-warna kontras itu.
Pelangi memang dimulai dari satu berkas cahaya tak berwarna, terbiaskan hingga menjadi banyak warna, semakin lama semakin kontras namun indah. Di akhirnya mungkin hanya akan ada satu warna. Memang kita bisa mencela warna-warni atau menghujatnya, sama seperti kita bisa berdebat atau bersepakat soal akan jadi warna apa nanti semuanya. Namun memandang terangnya cahaya tak berwarna juga indah dan seorang yang dewasa harusnya bisa melihat ketiganya.
Bukan kebetulan kalau ini akhirnya diendapkan lalu diunggah di tanggal 11-11-11.
Lihat videonya di http://www.youtube.com/watch?v=N7lolwTO77M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H