Mohon tunggu...
Risdo Simangunsong
Risdo Simangunsong Mohon Tunggu... -

Lahir di Sumatera Utara, Menuntut ilmu dan mengejar panggilan hidup di kota Bandung. Laki-laki yang garing dan nyentrik, sesekali suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekali-kalinya soal Jokowi

15 Maret 2014   03:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rada lebay, tapi lucu dan simbolis.” Itu komentar saya saat menonton Jokowi mendramatisasi kesiapannya nyapres. Pak De cungkring itu mencium bendera merah-putih di kompleks rumah susun Marunda, setelah didahului ungkapan sakral: “Bismillahirohmanirohim.” Beliau lantas diam. Sepi, hanya sedikit orang yang mendengar langsung, sembari menyeru: “Hidup Jokowi”.

Momen itu berjalan paralel dengan pembacaan Surat Perintah Harian Bu Mega oleh Mbak Puan di Lenteng Agung. Dihadiri sejumlah kecil pengurus partai, surat tulisan tangan itu memuat tiga amanat, salah satunya: mendukung Jokowi sebagai capres dari PDI-Perjuangan. Tepat di saat itu, pertanyaan soal siapa capres usungan partai banteng terjawab sudah. Tersisa tantangan dan risiko yang harus dihadapi setelah peristiwa ini.

Saya tersenyum sebab ada banyak sekali upaya simbolik yang mencoba memiripkan momen ini dengan kesederhanaan prosesi proklamasi kemerdekaan kita, sembari menambahkan unsur PDI-Perjuangan di dalamnya (yang di pemilu kali ini ada di nomor urut 4). Hari Jumat, tanggal 14, pukul 14.45.

Jujur saja, sebenarnya saya malas bicara soal politik. Dari dulu kolom pandangan politik di profil fb saya selalu tertulis apa adanya: “PDI-Perjuangan (non-aktif)”. Tradisi ideologi di keluarga kami memang ‘merah’. Kakek kami, baik dari pihak ibu maupun ayah, adalah pengurus di dua partai yang akhirnya berfusi dalam PDI. Tapi saya tak pernah tertarik untuk terlibat lebih jauh. Lalu kenapa kali ini saya begitu greget sampai ngebela-belain nulis komentar meski sedang dikejar banyak deadline?

Pertama saya memang orang yang mendukung pencapresan Jokowi. Saya tak perlu sok seleb dengan menambah-nambahi klaim ‘Sejak dulu tahu/kenal Jokowi’. Atau menjadi sok nabi yang memberi jaminan ‘Jokowi adalah solusi semua masalah’, seolah-olah kata ‘Jokowi’ itu sekedar ganti bagi kata ‘khilafah’-nya kaum fundies Islam atau ‘Yesus’-nya kaum sok nge-roh Kristen. Ini lebih ke pandangan saya bahwa rakyat sekarang memang menaruh harapan pada sosok beliau.

Anda boleh suka atau tidak, tapi pria kurus berwajah kampungan ini memang menghadirkan harapan. Kedekatannya dengan arus bawah, kecintaan tulus dari para pendukungnya, bahkan jika bicara parameter kapitalis pun, indeks saham kita segera naik begitu pencapresannya diumumkan. Bagi saya, pemuda, saya kira baru Jokowi yang bisa membuat anak muda lebih peduli pada politik dan permasalahan bangsanya. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri puluhan teman-teman saya asal Jakarta rela bolos kuliah demi pulang memilih beliau pada pemilukada DKI lalu. Saya heran banyak sekali pekerja seni kreatif rela mendesain poster, avatar, art-work, lagu, dll untuk beliau (tanpa harus membuat lomba mahal seperti capres yang satu lagi). Lagian, siapa yang tidak kaget dengan momen gaul flash-mob di Car Free Day Jakarta itu?

Ya, harapan itu tidak selalu rasional. Saya tahu betul itu. Harapan massa kadang-kadang hanyalah emosi sesaat. Mudah lenyap. Mudah membuai. Tapi tanpa harapan perjuangan akan selalu kandas. Harapan massa itu adalah karunia untuk perubahan. Ada banyak sosok yang mencoba memoles diri sebagai pemuncul harapan. Bahkan beberapa mungkin sudah membuktikan dalam karya yang memang cukup menjanjikan. Tapi sejauh ini tidak ada pembangkit harapan yang pengaruhnya seluas dan sedalam Jokowi. Entah itu murni atau juga terpengaruh hal artifisial, yang jelas Jokowi ada di ruang-harap hati tulus rakyat kita.

Itu juga yang menjadi alasan kedua saya juga memilih berkomentar sekarang. Saya ingin mengguratkan harapan yang ada saat ini. Lalu mencoba membacanya kelak ketika, insya Allah, Jokowi sudah memerintah. Saya ingin jujur atas pilihan politis saya. Saya tak mau seperti Om Roy Marthen dan kawan-kawan artisnya yang akhirnya merasa berdosa karena turut memilih Pak SBY. Mereka sempat berharap banyak dan menabur banyak harap ke banyak orang, namun kini limbung sebab harapan itu seolah dihempas-campakkan oleh aksi serba-curhat dan serba-tanggung Bapak kita yang satu itu.

Nah, lewat komentar ini saya ingin bertafakur sejenak mengunggah-ulang apa yang sebenarnya saya harapkan kalau Jokowi jadi presiden dan apa yang bisa saya buat untuk membantu mewujudkan harapan itu.

Secara ringkas saya memang menaruh harap pada Jokowi karena menilai beliau itu peka terhadap kebutuhan rakyat, menjiwai nasionalisme-Pancasila serta berkomitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih. Setidaknya tiga unsur inilah yang jadi harapan saya dan akan sebisa mungkin saya libatkan diri untuk mewujudkannya. Lalu setiap saat terus diuji. Saya ingatkan diri saya, inilah alasan saya mendukung Jokowi. Betatapun kecil sumbangsih saya, namun tetaplah bagian dari kesalahan saya bagi bangsa dan bagi generasi berikutnya, jika nanti pemerintahan Jokowi ternyata kehilangan tiga unsur ini.

Ketiga, saya mau belajar mendidik diri sendiri dalam hidup berpolitik. Insya Allah bisa mendorong orang lain untuk sama-sama belajar. Menyadur Romo Harry, sudah sejatinya pesta demokrasi itu dimaknai sebagai momen yang sakral dari sudut pandang nasionalis. Sudah selayaknya bilik suara itu jadi salah satu ruang-spiritual yang sangat personal sekaligus berdampak nasional, dalam kehidupan berbangsa. Di sini saya mempertimbangkan pilihan politis saya. Jika saya memang religius, sudah seharusnya putusan politis itu adalah tindakan iman dan jawaban doa yang saya praktikkan dan peruntukkan bagi umat bangsa ini. Dengan mengunggah pemikiran-pemikiran dalam komentar ini, saya tengah mencoba memperbaiki ‘ibadah-politik’ saya.

Ya, harus diakui perpolitikan di bangsa ini memang jauh dari kesan ‘ibadah’ sejati, meski cukup banyak yang menempelinya dengan embel-embel agama. Meski cukup banyak orang yang mengaku saleh. Maka reformasi kesalehan-politis adalah unsur penting yang harus mencuat. Kesalehan politis yang muncul dari kejujuran dan harapan. Demi reformasi itu, saya selayaknya bisa memberi sumbangsih, tak peduli beberapa kecil.

Untuk itulah sekali-kalinya saya memilih bicara soal politik. Sekali-kalinya komentar secara pribadi soal Jokowi. Meski sangat mungkin pak Jokowi juga tak akan tahu tulisan ini. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun