Mohon tunggu...
Risdha Sneevliet
Risdha Sneevliet Mohon Tunggu... lainnya -

seorang laki-laki dari latar belakang keluarga yang biasa-biasa saja, layaknya warga pada umumnya yang hidup di atas bumi manusia...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tak Bisa Lupa (1)

18 Desember 2010   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:37 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Kubakar lagi rokok kretekku, agak susah memang, angin di musim ini lagi kencang2nya. Nah akhirnya hidup juga kan. Ku hisap perlahan, mengaso sejenak. Mataku perlahan terpejam, tapi bukan tidur. Apa daya memori itu muncul kembali...

"ndes, cah-cah wis do ngumpul po durung? aku kiy perjalanan munggah, sorry telat, biasa tow, dek mau bar ngeterke jahitan disik. hehehe..." alasan klise ku muncul begitu saja saat ku telpon Gomas, menanyakan keberadaan kawan-kawan, yang memang sudah sepakat tuk main bola di lapangan Al-Azhar.
"udah men, niy udah pada ngumpul, tinggal lo ma entit aja. tadi katanya, dia mo ke tempat mbaknya sebentar." jawab Gomas.
Tanpa menunggu lama, langsung ku tancap gas motor bebek shogun 125 kreditan ku. sembari berhati-hati, kalau-kalau ada operasi lalu-lintas atau terkenal dengan sebutan "momen", maklumlah, sampai sekarang aku belum punya SIM. Sampai di kos-kosan si Gomas ( potongan rambutnya mirip-mirip penyanyi dari negeri jiran, makanya dipanggil Gomas, alias gondrong malaysia) yang kala itu jadi basecamp dadakan, anak2 sudah berkumpul. Sebagian ngomel-ngomel karena menungguku terlalu lama. Ternyata entit pun sudah datang, beberapa menit sebelum aku. Wah, yang paling telat niy. "sorry, sorry, sorry..." kataku. "kowe kiy biasa owk Ndrong, senengane telat..." gerutu si Suneo alias bagus alias ariel alias... (ah banyak banget aliasnya niy anak). "aku yo nembe tekan owk Ris", entit menimpali, mencoba memberi pembelaan. "uwis-uwis tah, ayo, selak gatel kiy sikilku" Boyo nyeletuk dengan logat jawa timurnya yang kental. "gua pemanasan dulu ya coy" timpal Coro, pemuda "gaul" yang dibesarkan di ibukota.
Kami pun bergegas memasuki lapangan yang tak begitu besar, milik sekolah swasta yang kebetulan letaknya persis di depan basecamp.

"ini mas kopinya..." seseorang mengagetkanku, tersadar aku dari lamunanku. Ternyata sang penjual "kucingan" membawakan kopi yang kupesan tadi. "maturnuwun Mas..." jawabku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun