MHD, siswa kelas 2 SD di Sukabumi, tewas dikeroyok empat kakak kelasnya. Di media massa, istri Bupati geram dengan kasus itu, berkomentar, "Miris sekali. Ternyata perundungan di sekolah masih ada," ucapnya.
Miris sekali mengetahui orang dewasa baru tahu perundungan ada di sekolah.Â
Padahal, kasus perundungan itu banyak terjadi di sekolah. Mulai dari SD sampai Universitas (Di TK/ PAUD mungkin tidak sebanyak tingkat lainnya, karena bu guru / bunda PAUD selalu memperhatikan anak-anak).
Perundungan itu banyak terjadi tapi orang dewasa, seperti istri bupati, tahunya terlambat. Baru tahu setelah perundungan itu berdampak pada anak. Prestasi anak terjun bebas. Anak menarik diri. Babak belur. Atau, seperti yang dialami MHD, setelah anaknya meninggal.
Padahal, kebanyakan perundunga tidak terjadi tiba-tiba melainkan berproses. Seorang korban tidak tiba-tiba dipukul babak belur tapi mungkin dikata-katai dulu, disenggol, diancam, dipukul ringan-ringan, dll. Kemudian bertahap, bereskalasi, sampai yang membahayakan.
Saat proses dimulai atau baru berlangsung mestinya orang dewasa bisa menangkap pesan anak dan melakukan tindakan preventif. Tapi yang jadi masalah, kadang pesan anak tidak didengar.
Saat anak cerita perlakuan kakak kelasnya, orang dewasa menganggap enteng. Bahkan menganggap anaknya cengeng. Kadang, menyuruh anak melawan (tanpa memahami kekuatan "lawan").
Ada juga anak yang memberi sinyal atau pesan tidak eksplisit. "Ma, aku ga suka sekolah. Aku ga mau sekolah, Ma," ujar seorang anak korban (cerita seorang guru). Tapi, bukannya mencoba memahami apa yang tidak disukai dari sekolah, orang dewasa malah mengomeli anak. Memandangnya malas. Menyia-nyiakan jerih payah orang tua mencari uang dll.
Setelah anak babak belur sampai akhirnya meninggal, barulah mamanya itu teriak-teriak, gagal memahami kenapa anaknya tidak suka sekolah.
Perundungan mesti dihentikan dan orang dewasa mau tidak mau mesti turun tangan. Jangan terlambat. Mesti proaktif mengintervensi. Atau minimal mencegah saat gejala mulai muncul. Untuk itu, orang dewasa mesti mau aktif mendengar. Jangan cuma komplain atau marah.