Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intervensi Perilaku Bernorma

6 Juni 2024   14:40 Diperbarui: 6 Juni 2024   15:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
clipartpanda.com/ BEN OFARIM

Sebagian perilaku ditopang oleh norma komunitas. Sehingga, intervensi untuk perubahan perilaku-nya tidak bisa mengandalkan keputusan individual semata. Contoh, perilaku merokok. Merokok kerap dilakukan bersama-sama dan bukan hanya bersama tapi ada nilai kebersamaannya. Norma itu membuat seseorang yang tidak ikut merokok merasa kurang nyaman.

Kita tidak bisa mengajak orang berhenti merokok dengan hanya menyampaikan pesan-pesan tentang bahaya merokok (seperti jantung atau kanker), keuntungan menabung atau menggunakan uang rokok untuk gizi anak, atau menggambarkan para kapitalis yang menari-nari di atas penderitaan rakyat miskin (biasanya pesan untuk anak muda).

Jika ditopang norma komunitas (aturan tidak tertulis yang diikuti), maka intervensi perubahan perilaku mesti diarahkan untuk mengubah norma.

Ada dua pendekatan yang bisa dipertimbangkan untuk menata ulang norma komunitas. Pertama, mengembangkan kesepakatan baru komunitas, khususnya bila anggota-anggota komunitasnya cukup setara dan otonom (bila pun ada pemimpin atau tetua, mereka tidak mendominasi penuh). Di sini, intervensi perubahan perilaku dapat mengambil bentuk-bentuk kegiatan seperti memfasilitasi rembug komunitas, ansos, belajar bersama dan beraksi atau bentuk-bentuk partisipatif lainnya.

Di sini, komunikator mengambil posisi sebagai fasilitator proses atau seperti seorang bidan, yang membantu ibu hamil bersalin tapi bayinya sendiri bukan bayi si Ibu Bidan. Fasilitator membantu warga agar dapat menyampaikan pendapat-pendapat dengan rasa nyaman untuk didengar, didiskusikan, dan kemudian dikerucutkan dan disepakati action points-nya. Fasilitator sendiri tidak berpendapat tapi fokus pada proses dialognya. Kalaupun berpendapat, dia akan minta ijin mengganti topinya dulu -- dari topi fasilitator ke warga biasa. 

Warga yang ikut berembug mesti berasal dari beragam kelompok dan mereka mesti aktif berpartisipasi sehingga kesepakatan yang muncul merupakan hasil kerja bersama, tanpa ada anggota yang merasa ditinggalkan.

Yang kedua adalah perubahan norma via kepemimpinan. Pendekatan ini lebih pas untuk komunitas yang peran pemimpin atau tetua sangat dominan. Kalau sikap pemimpin berubah, berubah pula norma di komunitas.

Bentuk-bentuk kegiatan yang bisa dipertimbangkan adalah lobi-lobi, diskusi advokasi, kerjasama dengan tokoh yang dapat mempengaruhi pemimpin atau tetua komunitas, penyampaian komitmen di depan umum (via media massa atau lainnya), studi banding (agar pemimpin mendapat wawasan baru) dan lain sebagainya.

Hati-hati, jangan tertukar. Kalau pemimpin dominan, jangan malah membuka ruang partisipasi warga secara luas. Tapi, urus dulu para pemimpinnya.

Kalau komunitasnya egaliter dan otonom, jangan cuma mendekati pemimpin saja. Apalagi sampai berinvestasi banyak pada mereka, seperti mengajak studi banding jauh-jauh atau lainnya. Rugi dong, karena perubahan sikap pemimpin tidak berdampak besar pada sikap komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun