Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontestasi Perilaku di Tengah Wabah Virus Corona

25 April 2020   15:00 Diperbarui: 25 April 2020   15:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar pinjam dari https://prokabar.com/bawaslu-pasaman-peringati-walinagari-dan-bamus/

Masa wabah COVID-19 ternyata jadi ajang kontestasi perilaku. Seperti pilkada, sejumlah pihak berlomba-lomba memperebutkan dukungan masyarakat.

Ada profesor promosi empon-empon (kunyit, jahe, sereh dkk.). Ada yang menekankan vitamin C dan E. Berjemur pagi di bawah sinar matahari langsung pada waktu tertentu (yang waktu persisnya masih diperdebatkan). Ada yang semangat semprot disinfektan di tempat umum, bahkan tubuh manusia (yang jelas berbahaya). Ada yang fokus jaga jarak, cuci tangan pakai sabun, pakai masker di luar rumah dll.

Ada pula free riders, penumpang gelap. Ada yang berusaha meningkatkan penjualan dengan menyebut-nyebut COVID-19. Ada yang hendak koreksi citra, yang babak belur akibat wabah corona (Perhatikan narasi nikotin kurangi risiko COVID-19. Padahal, jumhur ahli kesehatan mengatakan merokok memperparah sakit COVID-19 karena kerusakan paru-paru).

Di alam demokrasi, kontestasi itu sah. Namun, saat melawan wabah COVID-19, kontestasi bisa berubah jadi berbahaya.

Kontestasi menghasilkan perilaku “menang” dan “kalah”. Bagaimana kalau yang kalah adalah perilaku yang valid?

Yang mudah teramati adalah perilaku pakai masker. Saya sering lihat di tukang sayur, ibu-ibu bermasker tapi empel-empelan dan tak jarang bersuara keras sambil tertawa (padahal itu membuat jarak tempuh droplet semakin jauh).

Padahal, pencegahan COVID-19 tak bisa bertumpu pada satu perilaku tapi harus ikuti kumpulan atau satu set perilaku.

Karena di era demokrasi kontestasi tak bisa diberangus (kecuali jika melanggar hukum), persoalannya sekarang adalah bagaimana memenangi kontestasi. Bukan hanya memenangi 1 perilaku tapi 1 set perilaku secara terpadu sehingga jadi pilihan utama publik.

Kita bisa belajar dari praktik jaman baheula yang sampai sekarang masih hidup di masyarakat atau juga pemikiran era modern. Beberapa ide yang terlintas:

  • Gunakan akronim atau singkatan yang atraktif. Di era para wali ada istilah Molimo (jangan madon/ main perempuan, mendem/ mabuk, maling/ mencuri, main/ judi, madat/ narkoba). Sampai sekarang masih banyak orang jawa yang tahu dan mengikuti.

    Selain menarik, akronim atau singkatan harus mudah diingat dan relevan. Coba bandingkan dengan upaya cegah PTM (Penyakit Tidak Menular). Dikenal istilah CERDIK (Cek kesehatan rutin, Enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, Diet seimbang, Istirahat cukup, Kelola stress). Lebih rumit ya?

  • Bungkus dengan satu konsep yang memotivasi. Jaman wali songo muncul istilah Tombo ati. Artinya, obat hati. Yang membuat tentram ada 5 perkara (baca qur'an dan maknanya, sholat malam, berkumpul dengan orang sholeh, berpuasa dan dzikir malam).

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun