Dalam dunia kebencanaan biasanya ada peta daerah rawan. Rasanya, hal yang sama perlu dibuat untuk perilaku. Apalagi untuk COVID-19 satu-satunya cara untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran infeksi adalah perubahan perilaku.
Jadi bagaimana peta perilaku rawan dan apa rekomendasinya?
Saya coba cicil satu satu dalam tiga artikel berbeda. Moga-moga berguna bagi relawan.
Jangan terkecoh ajang-ajang selebrasi cuci tangan pakai sabun. Berbagai riset menunjukkan orang Indonesia hanya biasa mencuci tangan dengan pakai air saja. Tidak pakai sabun.Â
Riset besar terakhir dilakukan IUWASH Plus (2017), mewawancarai 3.458 responden di 15 kota kabupaten di Indonesia menemukan ibu yang cuci tangan pakai sabun hanya sekitar 5% saja. Bahkan, yang lengkap di 5 waktu penting paling hanya sekitar 1%.
Kita cenderung meremahkan cuci tangan pakai sabun. Saya mengingatkan abang pelayan warteg tentang jaga jarak lebih dari 1 meter, dia bilang: "Iya, pak". Saat saya ingatkan juga cuci tangan pakai sabun, dia ketawa nyengir.
Saya malah mendapat kesan kita cenderung bersikap munafik untuk urusan higinitas ini. Bisa diperhatikan, banyak orang dewasa mengatakan anak saya sudah saya ajari cuci tangan pakai sabun.Â
Acara-acara cuci tangan pakai sabun juga lebih banyak memperlihatkan anak-anak in action sambil orang dewasa bangga mengamati mereka.Â
Padahal, yang membuat banyak anak balita Indonesia meninggal karena diare adalah perilaku orang dewasa yang tidak cuci tangan pakai sabun setelah BAB atau waktu-waktu penting lainnya.
Saat wabah COVID-19 ini, di media sosial bahkan tidak sedikit kita temui yang mencak-mencak mengatakan pemerintah bisanya hanya meminta cuci tangan pakai sabun.