Mohon tunggu...
Risal Gantizar Gifari
Risal Gantizar Gifari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Administrasi Pendidikan - Teknisi Hardware Komputer & Operator Data - Pelaksana Manajemen Pendidikan

Saya adalah seorang Dosen sekaligus Pegawai Honorer, maklum istilah orang Sunda itu saya 'berbakat' alias 'bakat ku butuh' (saking butuhnya) untuk menyambung hidup, jadi saya mengambil dua pekerjaan sekaligus, hehe... Saya senang membaca dan menulis, juga hobi main game dan kadang LIVE game balap Rally di TikTok, nama akunnya @tag.yaz (Uncle_Boomer~80s😎)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Nilai Moral Diperdagangkan: Apakah Kita Semua 'MUNAFIK'?

29 Januari 2025   15:17 Diperbarui: 29 Januari 2025   15:17 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Risal Gantizar Gifari, M.Pd
Dosen Etika Profesi (NIDN. 2027078805)
Universitas Islam Darussalam Ciamis

Di tengah peradaban modern yang kompleks, nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan manusia kini terancam mengalami distorsi. Moralitas, yang idealnya merupakan pedoman hidup, kian hari semakin tereduksi menjadi komoditas sosial yang dapat diperdagangkan, dimanipulasi, dan bahkan dilemahkan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah moralitas kita benar-benar tulus, atau sekadar transaksi yang tersembunyi?

Moralitas adalah prinsip dasar yang mengarahkan perilaku manusia terhadap apa yang dianggap benar dan salah (Rachels & Rachels, 2019). Namun, dalam praktiknya, moralitas sering kali disesuaikan dengan kepentingan tertentu. Nilai kejujuran, misalnya, bisa berubah menjadi alat untuk membangun citra, alih-alih menjadi kebajikan yang murni. Fenomena ini sejalan dengan konsep virtue signaling, di mana individu atau kelompok menggunakan moralitas untuk menunjukkan kesalehan mereka kepada publik tanpa komitmen nyata untuk mewujudkannya (Brezina & Phipps, 2020).

Dalam dunia politik, nilai-nilai moral sering dijadikan senjata retorika. Janji-janji politik yang berbasis pada keadilan, kesejahteraan, dan empati terhadap rakyat sering kali tidak lebih dari alat untuk menarik simpati publik. Fenomena ini dikenal sebagai moral licensing, yaitu ketika seseorang atau institusi menggunakan tindakan moral untuk melegitimasi perilaku yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai tersebut (Merritt, Effron, & Monin, 2010).

Fenomena yang lebih mengejutkan adalah keterlibatan individu dalam perdagangan moral yang terjadi pada tingkat mikro. Dalam konteks ini, moralitas sering kali dikompromikan demi kenyamanan atau kepentingan pribadi. Misalnya, kebohongan kecil yang dianggap tidak berbahaya, kompromi terhadap etika kerja demi keuntungan singkat, atau tindakan tidak adil yang dibenarkan dengan alasan "demi kebaikan bersama."

Hal ini mencerminkan teori cognitive dissonance yang dikemukakan oleh Festinger (1957), di mana manusia cenderung membenarkan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai moral mereka untuk mengurangi konflik internal. Dengan kata lain, kita sering kali menjadi "munafik" secara tidak sadar karena berusaha menjaga harmoni antara perilaku dan keyakinan kita.

Ironi terbesar dari moralitas terletak pada kontradiksi antara tuntutan kita terhadap orang lain dan toleransi kita terhadap diri sendiri. Kita mudah mengutuk pelanggaran moral yang dilakukan oleh orang lain, tetapi cenderung mengabaikan pelanggaran serupa yang dilakukan oleh diri sendiri. Ini sesuai dengan konsep fundamental attribution error, yaitu kecenderungan untuk menyalahkan karakter individu atas kesalahan mereka, sementara kita sendiri cenderung menyalahkan situasi eksternal atas kesalahan kita (Heider, 1958).

Ketika moralitas menjadi alat untuk menyerang, bukan jembatan untuk memahami, kita tidak hanya menciptakan ketegangan sosial, tetapi juga mengikis rasa saling percaya. Seperti yang diungkapkan oleh Bauman (1993) dalam Postmodern Ethics, moralitas di era modern sering kali menjadi relatif dan fleksibel, kehilangan dimensi universalnya.

Ketika nilai moral diperdagangkan, kita harus bertanya: apakah kita sedang membangun dunia yang lebih baik, atau justru lebih licik? Jika moralitas hanya digunakan sebagai alat untuk keuntungan pribadi atau politik, maka kita telah gagal memahami inti dari nilai-nilai tersebut.

Sebagai individu, kita perlu merefleksikan apakah tindakan kita benar-benar mencerminkan moralitas yang kita klaim percayai. Apakah kita bersikap adil, jujur, dan empati, ataukah kita hanya berpura-pura demi mendapatkan penerimaan sosial?

Kesadaran adalah langkah pertama untuk menghentikan siklus kemunafikan ini. Seperti yang dikatakan Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra (1883), "Manusia adalah tali yang direntangkan antara binatang dan manusia unggul." Kita berada di persimpangan, antara menjadi penjaga moral atau sekadar pedagang moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun