Loyalitas, dalam dunia kerja, sering kali menjadi kata sakti yang dikibarkan tinggi-tinggi. Tapi, mari kita tanya: Apa arti loyalitas sebenarnya? Apakah loyalitas berarti tunduk tanpa bertanya? Ataukah loyalitas itu adalah keberanian untuk menegakkan kebenaran meski itu berarti menantang status quo?
Di dunia birokrasi, kita seringkali mendengar bahwa loyalitas adalah harga mati. Tapi, kenyataannya? Ada atasan yang memutarbalikkan loyalitas menjadi alat pemerasan. Mereka menjadikannya sebagai alat untuk menekan bawahan, memaksa untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, dengan dalih "bukti loyalitas." Bukan untuk kepentingan lembaga, tapi demi kepentingan pribadi. Bayangkan, target uang ditetapkan bukan untuk lembaga, tapi untuk "membuktikan loyalitas." Ancaman? Jangan tanya, sanksi administratif sampai diabaikan dalam setiap kebijakan strategis.
Ironisnya, kita tahu ada regulasi yang mengatur hal ini. Dalam PP Nomor 94 Tahun 2021, disiplin PNS sangat jelas. Setiap pegawai, baik atasan maupun bawahan, wajib menjaga integritas, menjalankan tugas dengan profesionalisme, dan berpegang pada aturan yang ada. Namun, terkadang yang terjadi adalah pemimpin yang menganggap aturan itu bisa dibelokkan sesuai dengan ego mereka, seolah jabatan itu milik pribadi, bukan amanah.
Lebih jauh lagi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengingatkan kita, bahwa memanfaatkan jabatan untuk menekan atau memeras adalah tindakan pidana. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini adalah pelanggaran hukum yang serius. Tindakan seperti ini merusak fondasi integritas dalam pelayanan publik dan menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang kita wakili.
Apa yang terjadi kalau loyalitas diperlakukan seperti ini? Yang terjadi adalah ketidakadilan, ketegangan, dan, yang lebih parah, kerusakan pada budaya kerja. Pemimpin yang baik tidak meminta loyalitas dengan ancaman, tetapi dengan memberi contoh. Pemimpin yang baik menciptakan ruang bagi bawahan untuk berkembang, merasa dihargai, dan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Inilah esensi dari loyalitas yang sesungguhnya.
Namun, di sisi lain, loyalitas yang dibangun dengan paksaan hanya menciptakan ketakutan. Bukan dedikasi. Bukan hasil kerja yang maksimal. Dan pada akhirnya, bukan kesejahteraan yang terbangun, baik untuk individu maupun lembaga.
Loyalitas sejati bukan soal tunduk pada setiap perintah yang salah, tapi tentang berpegang teguh pada kebenaran dan integritas. Tentu saja, ini tidak mudah. Tapi rezeki yang datang dengan cara yang benar adalah rezeki yang penuh berkah. Ketika kita berintegritas, berusaha sebaik mungkin, dan mengikuti aturan, hasilnya akan datang dengan sendirinya. Kita tak perlu takut kehilangan jabatan atau posisi, karena sejatinya, apa yang kita dapatkan adalah hasil dari usaha yang tulus.
Jabatan dalam pelayanan publik adalah amanah. Itu berarti kita harus menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk masyarakat dan negara. Sebagai seorang atasan, mari kita ingat bahwa kita bukanlah penguasa, melainkan pelayan. Dan sebagai bawahan, kita juga punya hak untuk bekerja dengan rasa aman, tanpa harus takut diperas atau ditekan.
Loyalitas yang sejati akan tercipta ketika kita semua berkomitmen untuk bekerja dengan integritas, untuk melayani dengan hati yang tulus. Karena pada akhirnya, bukan ancaman atau paksaan yang akan membangun lembaga, tetapi kerja sama yang didasari oleh rasa saling percaya dan menghormati.
Risal Gantizar Gifari, M.Pd
Civitas Akademika Universitas Islam Darussalam Ciamis - Jawa Barat