Mohon tunggu...
Risa Laili Dwi Siami
Risa Laili Dwi Siami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya Prodi D4 Administrasi Negara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Jendela Losmen

19 Februari 2024   14:31 Diperbarui: 19 Februari 2024   15:12 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tertegun di tengah pelataran macam orang kena tenung yang melihat hal yang tidaknyata.Sekonyong-konyong aku diserang perasaan perih .aku menggenggam jemariku sendiriyang gemetar tanpa hiraukan orang yang di sampingku ,entah sejak kapan pria berbaju
kemeja kotak itu mengambil posisi tengah duduk di atas empelur batang dikotil yang
berbentuk lingkar tahun itu.
“Mengapa kau menjadi gundul” ucapku pelan sembari menikmati kesunyian hutan wisata siti
sundari
“Bagaimana kau bisa tahu?bukankah dari tadi aku sedang memakai helm lalu kuganti dengan
topi ini” ucap pria sebelahku sambil mengangkat alisnya dan beranjak mendekatiku berdiri
dari batang itu.
“Lihatlah ini,Boi”,kataku.
“Iya sepertinya kita salah tempat untuk mengisi liburan kuliah kita yah”,jawab pria itu
dengan santai.
Aku pun terdiam sepertinya lelaki yang bersamaku saat ini baru pertama kalinya menjelajah
hutan wisata yang dulunya ramai pengunjung ini.Hutan yang rindang,rumpun dan elok
dipandang ditambah lagi banyak wisatawan yang datang untuk menikmati sejuknya udara
desa senduro alas Burno itu.Lalu padaku,Boi minta diberikan permen telur cecak yang
sempat kubeli di supermarket di perjalanan menuju kawasan hutan siti sundari ini.Alisnya
naik macam pedang karena aku tak segera mengambil permen itu dari saku ku.Langsung aku
rogoh permen itu dari saku ku dan ku salamkan padanya .Tangan kiri ku menepuk pundak
kiri memberikan laki-laki itu kode bahwa langit sudah mulai runtuh dan jari telunjukku

mengarah ke warung kopi pondok kayu yang hanya tertinggal satu dari sekian barisan
dulunya.
Sesampainya di warung pondok itu,terdapat sepasang suami istri yang melayani dua pembeli
yang mungkin sepasang kekasih sedang berteduh sambil menikmati hangatnya kopi saat
mereka ingin perjalanan ke ranu pane.Pikiran ku masih terpaku mengapa seperti disulap
tempat ini menjadi hampa kosong dalam waktu dua bulan.Bola mataku tak henti memandangi
sekitar ,lelaki berkemeja itu segera memesankanku susu hangat ,dan ia memesan kopi hitam
untuknya.Daripada aku harus memutar otak untuk menjawab pertanyaanku yang aku sendiri
pun tidak tahu jawabannya ,ku sempatkan bertanya kepada pemilik warung kopi itu.
“Wiwit kapan nggih budhe niki alas dados gundul?”,tanyaku pada ibu penjual kopi
menggunakan bahasa jawa lumajangan yang bisa diartikan dalam bahasa Indonesia “ sejak
kapan ya tante, hutan ini menjadi gundul?” kira-kira seperti itulah jika diartikan.
“Walah nduk ,wis rong minggu wingi wisata iki tutup ,diketok marang perhutani.tiyang liwat
gur arep jujug ranu pane karo bromo niki” jawab ibu penjual kopi sambil melambaikan
tangan dari belakang etalase kaca yang berisi kopi sachet instan itu.Lelaki berkemeja kota di
sampingku menanyakan apa yang sedang dibicarakan dengan ibu itu berbisik halus di telinga
ku.
“Dia bilang sudah dua minggu yang lalu tempat wisata ini ditutup, ditebang oleh pihak
perhutani,orang-orang yang melewati jalur ini adalah orang yang mau menuju ke wisata ranu
pane atau bromo”bisik balik aku kepada lelaki berkemaja itu.Ia hanya mengangguk-angguk
mendengar bisikanku ,mungkin sedikit terkejut dengan nada bicara orang lumajang dan
bahasanya yang mungkin asing menurutnya.Bukankah ini masih musim hujan untuk
melakukan penebangan itu tidak memungkinkan.Aku selama menjadi pegiat lingkungan atau
pecinta lingkungan hampir enam tahun mengikuti kader atau webinar tentang lingkungan
tidak pernah mendapatkan materi pembalakan atau penebangan hutan secara resmi diadakan
di musim hujan.Karena harusnya perhutani mempertimbangkan berbagai faktor lingkungan
yang dapat membahayakan ratusan kepala keluarga di pemukiman sekitar jika tetap nekat
dipotong karena terdapat kemungkinan ancaman bencana lonsor namun ini yang melakukan
perhutani pasti sudah tahu prosedur yang terbaik.
“Hei ,kau ikut organisasi pecinta lingkungan kan Boi?”ucapku membuka pembicaraan
dengan lelaki yang sedang menyeruput kopi panasnya.

“Yah begitulah “ jawabnya santai.
“Apakah di organisasi mu ada program kerja untuk reboisasi bulan ini?”tanyaku lagi
“Belum ada ,ini kita lagi mengadakan acara webinar-webinar diklat pecinta lingkungan aja
karena terhalang pandemic ,huh sangat tidak sesuai ekspetasiku harus serba online kita
acaranya”jawab dengan nada kesal dia dengan keadaan saat ini.
“Tidak masalah Boi ,aku akan segera membantu program kerja organisasimu” mata lelaki itu
langsung menatapku seolah tak percaya apa yang baru saja kubicarakan.
Melihat kondisi sekitar yang ditebang besar-besaran tentu saja perhutani akan segera
menanamkan kembali dalam waktu dekat jika penebangan kemarin sudah sesuai
prosedural,setelah kulihat-lihat ternyata perhutani sudah memberikan tanda bahwa sudah
dilakukannya pengecekan batas blok/petak penanaman yang sesuai rancangan penanaman.
Ku tepuk lengan lelaki itu sembari berkata”kabari saja teman-temanmu dan adakan meeting
lalu ajukan proposal untuk ikut turun reboisasi bulan ini Boi”
“Pintar juga kau ternyata yah”elus telapak tangannya yang membuat rambutku menjadi
berantakan ditambah lagi basah karena rintikan air hujan tadi.
“Iya dong “ucapku sambil tersenyum “kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang
baru di era pandemic ini .Tidak semua harus dilakukan dengan online,mewujudkan program
kerja organisasi pecinta lingkungan kampus yang masih terhalang pandemic bukan lagi
alasan .Jika masih dalam zona aman dan status yang masih hijau asal kita masih mematuhi
protocol kesehatan yang berlaku dan mengambil lima puluh persen saja dari semua anggota
organisasi mu”tambahku banyak padanya.
“Kenapa hanya lima puluh persen?”tanya dia mengekerutkan jidatnya
“Mau disetujui gak tuh proposal?ya patuhi protocol kesehatan dong biar diterima pihak
kampus dan pihak perhutani”jawabku sedikit nyolot pada lelaki itu.
Tidak terasa perbincanganku dengan lelaki itu membuat tidak sadar jarum pendek jam pada
tangan kiri ku sudah menunjukan angka tiga dan jarum panjang menunjuk angka dua.Lelaki
berkemeja itu bergergas membayar minuman dan beberapa hidangan yang kita nikmati
sembari menunggu hujan reda tadi.Aku sudah menyiapkan Helm yang tergeletak di
amben/tempat duduk bambu untuk dipakai lelaki itu.Hari ini mungkin mendapatkan suasana

yang tidak sesuai harapan awal berangkat ,namun berkat hari ini setidaknya muncul ide untuk
mengembangkan organisasi pecinta alam di era pandemic ini.Sungguh pemikiran yang tak
terduga muncul di warung kopi siti sundari.Seperti menanggung segunung kesal yang
terkunci rapat di ujung bibir karena hutan yang kutemui bukan lagi hutan yang dulu menjadi
terluapkan dengan pemikiran pengajuan proposal itu bak membuka jendela losmen meskipun
aku bukan anggota pecinta alam lagi di kampus namun pemikiranku tidak pernah lepas untuk
selalu mencintai lingkungan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun