Media Massa Indonesia sering atau bahkan selalu menggunakan kata "anarkis' atau 'anarki' untuk menggambarkan peristiwa kerusuhan, perusakan properti probadi atau fasilitas umum, bahkan tawuran. tidak terkecuali saat rusuh demo supir taksi 2 hari lalu. Entah latah atau tidak sempat mencari tahu, tapi yang pasti, media massa seharusnya menggunakan bahasa yang benar, karena media massa punya peran edukasi pada masyarakat. Nah apakah anarkis bisa disamakan dengan aksi kekerasan?
Anarchy berasal dari bahasa Yunani, anarchos/anarchein. a berarti tidak, archos/archein berarti pemerintah/kekuasaan. Maka, anarchos/anarchein berarti "tanpa pemerintahan" atau "pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah. Jika ditambah -isme berarti anarkisme adalah paham yang mendukung masyarakat tanpa pemerintah. Pemerintah dianggap tidak perlu, atau bahkan berbahaya bagi rakyatnya.
Menurut Kamus besar bahasa indonesia, anarki berarti: 1 hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban; 2 kekacauan (dalam suatu negara). Sedangkan dalam ilmu pemerintahan, menurut Aristoteles, anarki adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh banyak orang yang tidak berhasil menjalankan kekuasaannya untuk kepentingan umum.
Dalam sejarahnya, gerakan anarki sering menggunakan kekerasan untukmencapai tujuan atau menggulingkan kekuasaan. Kondisi yang melahirkan pemikiran anarki ini dipicu ketidakmampuan pemerintah untuk menggunakan kekuasaan mengatur dan memakmurkan rakyatnya. Namun betulkah masyarakat lebih baik tanpa pemerintah? Bisakah sebuah tatanan kehidupan berlangsung tanpa ada yang mengatur? Mungkin gambaran masyarakat tersebut hanya ada di pulau utopia, pulau fiktif di Samudra Atlantik, karangan Thomas More. Hal ini kita bahas lain waktu.
Sampai di sini jelas anarki atau anarkis atau anarkisme tidak bisa diharafiahkan menjadi aksi kekerasan. Mungkin yang dimaksudkan para redaktur media adalah aksi vandalis. Istilah vandalisme berasal dari kebiasaan bangsa Vandal, pada zaman Romawi Kuno, yang budayanya antara lain: perusakan yang kejam dan penistaan terhadap segala sesuatu yang indah atau terpuji. Tindakan yang termasuk di dalam vandalisme lainnya adalah perusakan kriminal, pencacatan, grafiti yang liar, dan hal-hal lainnya yang bersifat mengganggu.
Kata vandal dan anarki sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan masuk dalam KBBI, maka sah saja jika akan digunakan dalam naskah jurnalistik. Namun menurut saya, bahasa Indonesia  punya istilah untuk menggambarkan aksi para supir taksi kemarin. Mengapa tidak gunakan saja istilah kekerasan, kerusuhan, pemukulan, atau perusakan? Dari pada menggunakan bahasa serapan tapi tidak pas, yang kemudian diikuti masyarakat, lalu digunakan sehari-hari. Setiap ada kerusuhan, merusak fasilitas, memukul orang tidak bersalah, orang akan menyebutnya anarkis!
Menyesatkan pembaca dan pemirsa adalah salah satu dosa jurnalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H