Mohon tunggu...
Risad Kollo
Risad Kollo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Orientasi Pendidikan yang Sesungguhnya di Kalangan Mahasiswa: Antara Nilai dan Kemampuan

13 April 2012   02:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:40 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

ORIENTASI PENDIDIKAN YANG SESUNGGUHNYA DI KALANGAN
MAHASISWA: ANTARA NILAI DAN KEMAMPUAN

Oleh: Risad Kollo

(Mahasiswa Bahasa Inggris Universitas Nusa Cendana Kupang)

Sadar tidak sadar pendidikan kita saat ini terutama di kalangan mahasiswaberada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan oleh pendidikan kita masih berada pada taraf yang jauh dari apa yang diharapkan. M. Joko Susilo menegaskan, “Memasuki abad 21 Sumber Daya Manusia kita masih kurang kompetitif dibandindingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara”, (M. Joko Susilo, 2009:66). Menurut Human Development Report tahun 2003 versi UNDP, peringkat Human Development Index (HDI) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urut 112. Urutan ini berada jauh di bawah Filipina(85), Thailand(74), Malaysia(58)Brunei Darusalam(31),dan Singapura(28)”. Hal ini menunjukan bahwa tamatan perguruan tinggi kita sebagai tolok ukur dari sumber daya manusia kita masih berada pada kondisi yang lemah dan belum mencerminkan adanya kemajuan positif dan kompetitif dalam pendidikan kita.

Salah satu penyebab lemahnya kualitas sumber daya manusia kita, dalam hal ini lulusan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi kita adalah lemahnya motivasi belajar dari mahasiswa sebagai kaum terpelajar dikarenakan adanya orientasi yang keliru oleh mahasiswa. Kekeliruan ini dapat dilihat pada kecenderungan mahasiswa dalam hal pencapaian nilai atau IPK yang setinggi-tingginya walaupun nilai tersebut berbanding terbalik dengan pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki. Hal ini Jelas-jelas dipertanyakan oleh M. Joko Susilo,” Sudah cukupkah pendidikan hanya mengukur kuantitas dari nilai hasil ujian tanpa mengukur kualitasnya?” (M. Joko Susilo, 2009:100).

Pencapaian hasil( nilai/ IPK) yang tinggi sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang salah, bahkan merupakan sesuatu sangat didambahkan dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang mahasiswa dalam menjalani profesinya sebagai peserta didik di perguruan tinggi. Namun perlu diperhatikan bahwa pencapaian itu haruslah berbanding lurus dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Yang saya maksudkan disini adalah bahwa pencapaian hasil tersebut benar-benar didapat dengan cara yang jujur dibarengi kerja yang keras. Pencapaian nilai tersebut bukanlah sebuah kebetulan atau lebih dikenal dengan istilah “mujur”, ataupun dengan yang curang sebagaimana yang sudah lazim di kalangan peserta didik, tidak hanya mahasiswa saja tetapi juga jenjang pendidikan di bawahnya yaitu dengan cara melihat contekan, mencopy pekerjaan teman yang memiliki kemampuan lebih, memanfaatkan keakraban dengan tenaga pendidik dalam hal ini dosen ataupun kelalaian dari tenaga pendidik itu sendiri, dan berbagai cara lain yang dihalalkan oleh mahasiswa demi mencapai apa yang diharapkan.

Perbandingan terbalik antara nilai dan kemampuan yang merupakan akibat dari kecurangan-kecurangan seperti tersebut diatas jika terus terpelihara maka akan menjadi momok bagi mahasiswa itu sendiri bahkan bisa juga membawa dampak buruk bagi perguruan tinggi dimana ia melangsungkan pendidikannya. Momok ini akan sangat terasa terutama pada saat mahasiswa menamatkan pendidikanya dan beralih ke dunia kerja, dalam hal ini apabila ditemukan adanya kejanggalan atau perbandingan terbalik antara nilai yang tersurat dengan perwujudan pengetahuan dan ketrampilan di dunia kerja, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan besar terhadap nilai-nilai yang diperoleh mahasiswa tersebut, akan ada penilaian negatif terhadap mahasiswa tersebut yang dampaknya bisa berlanjut pada perguruan tinggi tempat mahasiswa tersebut menjalankan pendidikannya, dimana akan ada asumsi bahwa peruruan tinggi tersebut hanya mampu menamatkan mahasiswa dengan nilai tinggi namun tidak berpengetahuan. Dengan kata lain nilai yang didapat oleh mahasiswa tersebut hanyalah merupakan hasil rekayasa dari perguruan tinggi tersebut. Disinilah dapat kita lihat bahwa dengan adanya kesalahan satu orang tidak bertanggung jawab merugikan suatu kelompok yamg senbenarnya baik, ibarat nila setitik merusak susu sebelanga. Oleh karena itu alangkah lebih mulia apabila seorang mahasiswa membekali diri dengan pengetahuan serta ketrampilan yang dibutuhkan di dunia kerja daripada memusingkan diri untuk mencari trik-trik untuk mencapai nilai yang setinggi-tingginya.

Apabila kita melihat kembali tujuan pendidikan itu sendiri maka dengan sendirinya kita dapat menemukan sendiri orientasi yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan terutama di kalangan mahasiswa. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari ketidaktahuan dan ketidakbenaran. UUD 1945 (versi amandemen), pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimaman dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”(UUD 1945

Dari pernyataan-pernyataan diatas, dapat kita lihat sendiri bahwa tujuan atau orientasi pendidikan yang sesungguhnya termasuk didalamnya perguruan tinggi adalah meningkatkan kecerdasan dari peserta didik itu sendiri baik secara jasmani maupun rohani. Dengan kata lain bahwa orientasi yang sesungguhnya dalam pendidkan adalah memperoleh pengetahuan serta meningkatkan kemampuan dan ketrampilan, bukan untuk mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya

Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa masa kini lebih tertarik dengan orientasi pada nilai tanpa menghiraukan pengetahuan dan ketrampilan yang ada, dengan semboyan “yang penting lulus dengan nilai tinggi”. Pertanyaannya bagi kita yaitu apa sebenarnya yang menyebakan begitu tingginya minat mahasiswa dalam memfavoritkan nilai sebagai orientasi utama saat ini? Menurut pengamatan dan pengalaman penulis selama ini, penulis dapat menemukan beberapa penyebab dari menyimpangnya orientasi mahasiswa terhadap dunia pedidikan serta bisa terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka mencapai apa yang didamba-dambakan itu sebagai berikut:

Budaya dalam masyarakat kita sendiri

Budaya merupakakan yang sangat mempengaruhi adanya orientasi yang tinggi dari mahasiswa terhadap nilai yang diperoleh dibandingkan dengan pengetahuan atau ketrampilan itu sendiri. Budaya ini sebenarnya sudah dimulai sejak seorang peserta didik masih kecil, ketika mendapat nilai yang kurang baik akan mendapat hukuman dari orang tuanya dan akan dipuji apabila mendapatkan nilai yang baik tanpa mencari tahu terlebih dahulu proses perolehan nilai tersebut. Budaya ini juga merasuk kedalam pendidikan di kalangan mahasiswa dimana Jarang sekali kita mendengar orang bertanya tentang pengetahuan atau ketrampilan apa yang sudah mahasiswa dapatkan dalam pendidikannya. Hal yang lebih sering ditanyakan adalah berapa nilai yang mahasiwa dalam mata kuliah tertentu atau IPK yang mahasiwa peroleh selama semester yang sudah berlangsung. Hal inilah yang menjadi stimulus bagi mahasiswa untuk menanamkan motivasi serta orientasinya lebih pada pencapaian nilai-nilai dimaksud karena ingin dikatalkan hebat atau pintar oleh orang-orang bertanya padanya. Padahal kepintaran yang sesungguhnya bukan dilihat semat-mata dari pencapaian nilai tersebut melainkan lebih tercermin pada apa yang mampu mereka kerjakan.

Kebiasaan seleksi akademik

Dalam dunia pendidikan, seringkali ditemukan seleksi akademik yang hanya berpatokan pada nilai-nilai yang diperoleh mahasiswa tersebut. Suatu contoh yang dapat kita lihat adalah dalam proses pemberian beasiswa kepada mahasiswa, seringkali mahasiswa hanya diseleksi dari IPK yang diperolehnya, tanpa adanya jenis seleksi lain untuk mengukur kemurnian dari kemampuan akademik mahasiswa bersangkutan. Hal inilah yang menyebabkan mahasiswa berlomba-lomba dengan menghalalkan segala cara agar mampu mencapai persyaratan akademik yang dimaksud sehingga berkesempatan mendapatkan beasiswa. Sebenarnya penyeleksian berdasarkan IPK itu tidak salah, namun alangkah lebih baiknya ada seleksi tahap lanjutan dengan menyertakan rentangan IPK sekian yang diseleksi lagi dengan cara tersendiri agar mahasiswa tidak menganggap bahwa IPK merupakan satu-satunya patokan dalam seleksi akademik.

Sementara yang menjadi penyebab adanya kecurangan-kecurangan sehingga sehingga niai yang diperoleh mahasiswa bisa bebanding terbalik dengan pengetahuan serta ketrampilannya adalah ketidakcermatan pendidik dalam memberikan nilai kepada mahasiswa, dalam hal ini pendidik mudah dikecokan oleh trik yang digunakan oleh mahasiswa untuk mencapai nilai yang tinggi walaupun pengetahuannya sangat minim. Selain itu, kejanggalan itupun dapat terjadi akibat adaya kedekatan tertentu antara pendidik dan mahasiswa yang mengakibatkan adanya hubungan emosional yang kuat yang berdampak pada pemberian nilai yang timggi kepada mahasiswa tanpa mempertimbangkan kemampuannya. Contoh lainnya adalah tidak kreatifnya tenaga pendidik dalam menyusun soal sehingga dalam kehidupan kampus sering ditemukan mahasiwa tidak perlu banyak belajar, cukup menghafalkanjawaban yang sudahtersusun rapih dikarenakan soal ujian yang sama setiap tahun.

Oleh karena itu, untuk menghindari adanya perbandingan terbalik dari nilai dan pengetahuan serta ketrampilan, perlu adanya kesadaran dari mahasiswa maupun dosen sebagai tenaga pendidik agar tidak terjadi kecurangan seperti tersebut diatas. Perlu juga kecermatan serta kehati-hatian serta kreatfitas yang tinggi dari dari seorang tenaga pendidik dalam menyusun soal serta memberikan penilaian agar tidak tekecoh dengan tipu muslihat yang diterapkan oleh mahasiswa.

Menyadari akan akibat buruk dari orientasi mahasiswa yang lebih terfokus pada pencapaian nilai dibandingkan dengan pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki terutama dalam dunia kerja yang tidak hanya dapat mencemarkan nama baik dari mahasiswa itu sendri tetapi juga perguruan tinggi dimana ia menjalani pendidikannya seperti telah dijelaskan diatas maka perlu diadakan upaya-upaya untuk meminimalisasi kecenderungan orientasi yang tidak tepat pada kalangan mahasiswa.

Adapun solusi utamanya datang dari kesadaran kita sendiri sebagai mahasiswa untuk mau lebih mengutamakan orientasi kita terhadap pengetahuan serta ketrampilan yang kita miliki dengan mengutaman praktek-praktek kejujuran dan keadilan yang akan menimbulkan keseimbamgan antara kemampuan serta nilai yang kita peroleh sehingga tidak mempermalukan diri kita sendiri maupun alamater kita pada saat menghadapi dunia kerja nanti.

Berikutnya adalah perlu adanya perubahan cara pandang oleh masyarakat kita mengenai kemampuan akademik mahasiswa yang bukan semata-mata dilihat dari nilai. Dalam hal pernyataan-pertanyaan yang dilontarkan kepada mahasiswa pun tidak sebatas pada nilai yang diperoleh melainkan lebih memfokuskan pada pertanyaan terhadap pengetahuan serta ketrampilan yang diperoleh. Dengan demikian maka lambat laun mahasiswa akan mengubah pola pikir dan cara pandangnya terhadap pencapaian pendidikan itu sendiri.

Dalam pemberian nilai kepada mahasiswa juga para pendidik harus mengutamakan objectifitas yang tinggi agar tidak merugikan mahasiswa yang sebenarnya memiliki kemampuan baik dan menguntungkan mereka yang sebenarnya berkemampuan kurang dalam hal nilai.

Penulis yakin bahwa apabila hal tersebut dilaksanakan, pendidikan kita akan berkembang dengan baik yang menghasilkan tamatan yang tidak hanya memikul nilai yang tinggi tetapi juga dengan kemampuan dalam hal ini pengetahuan dan ketrampilan yang bisa diandalkan di dunia kerja yang dapat mengharumkan nama pribadi maupun almamater.

Akhir kata penulis mengajak kaum mahasiswa untuk bersama-sama mari kita tinggalkan kebiasaan lama kita untuk memfavoritkan nilai dan menujui ke arah orientasi pendidikan yang sesungguhnya yaitu mengutamakan pencapaian pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan di dunia kerja yaitu menjadi mahasiswa yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun