“Tidak hanya pejuang fisik, tapi juga pejuang intelektual”. Demikianlah kalimat yang acap kali dilontarkan Nurhayati, saat ditemui Dosen Fakultas Ilmu Budaya ini dikediamannya, Rabu (28/8). Perempuan dengan nama lengkap Nurhayati Rahman ini begitu terpukul, saat mengetahui Retno Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa (1812-1876), Ratu Kerajaan Lamuru (sekarang wilayah Kabupaten Bone) dan Pancana (salah satu kerajaan bawahan kerajaan Ternate saat ini menjadi wilayah Kabupaten Barru) dinobatkan tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma oleh Presiden Bambang Yudhoyono.
Sejak 2004 silam, Guru Besar Sastra Daerah ini bersama rekannya, Prof Dr Edward Polinggoma, bahu membahu memperjuangkan penulis naskah I La Galigo menjadi pahlawan nasional. Selama 10 tahun, segala usaha dilakukan guna memenuhi persyaratan yang ada. Mulai dari seminar lokal, seminar nasional, penulisan buku biografi, riset dokumen dan arsip nasional di Malaysia hingga ke negeri Kincir Angin, Belanda. Tak mudah menyelesaikan persyaratan tersebut. Berkali-kali beberapa dokumen mesti diubah. Temannya pun gugur satu persatu. Bahkan kondisinya sempat drop, hingga dilarikan ke rumah sakit selama dua kali sebab penyakit gejala types yang dideritanya.
Biarkanlah Colliq Pujie menjadi pahlawan nasional di hati orang-orang Bugis Makassar. Begitulah budayawan ini menutup lembar cerita perjuangannya, mengangkat sosok pahlawan wanita yang menurutnya sebagai Intelektual Penggerak Zaman. Semangatnya bersama kawannya tak pernah putus sebab mereka yakin dengan sosok Colliq Pujie dengan tangan dinginnya yang menghasilkan 12 jilid naskah La Galigo yang diakui dunia dan mendapatkan penghargaan Memory of the World dari UNESCO, karya sastra syair Sureq Baweng, La Toa (pesan dari leluhur) dan buku tentang sejarah Tanete.
Nurhayati memang pejuang kebudayaan. Kecintaannya pada I La Galigo sudah tumbuh sejak dibangku kuliah S1. Semua tugas akhir yang mengantarkan doktor pertama filologi dari Indonesia Timur ini menjadi professor, membahas tentang I La Galigo. Banyak pihak meragukannya. Mereka pesimis akan keputusannya ini dengan dalih sangat lama waktu yang dibutuhkan. Tentunya, bahasa bugis kuno ini begitu rumit.
Akhirnya sosok nurhayati yang pemberani menjawab semua kegelisahan orang-orang terdekatnya. Ia pun dinobatkan sebagai lulusan doktor termuda dan tercepat dibidangnya kala itu, sekaligus mendapat gelar cumlaude di Universitas Indonesia. “Semakin menyelam maka makin saya temukan mutiara itu”, begitulah Nurhayati mengibaratkan pencarian ilmunya ini. Ia terlampau asyik hingga merasakan “jatuh cinta” pada I La Galigo.
Kecintaannya pada I La Galigo tidak sampai disitu. Menapaki tahun lalu, ia salah satu penyelenggara seminar internasional yang menggaungkan I La galigo. Itulah awal kehebohan I La Galigo saat ini.
Sebagai seorang akademisi, budaya local diperkenalkannya keberbagai daerah. Tak jarang ia diudang sebagai pemakalah dan pembicara diberbagai daerah.
Puncak pencapaian peradaban manusia adalah dengan ditemukannya tulisan. Peradaban tertinggi itu telah dibuktikan dibeberapa Negara seperti Mesir, Yunani Kuno dsb. Maka, tak ada alasan baginya untuk tidak memperjuangkan I La Galigo sebagai salah satu karya monumental di Sulawesi Selatan. “Karya orang bugis yang kuno tapi melampaui zamannya, karena semua unsur-unsur moderen tertuang dalam tulisan itu,” tuturnya.
Kini, yang menjadi tantangannya saat ini adalah pelaku-pelaku nasionalisme yang mulai menahan budaya local. Sebab, di pelosok desa orang disuruh berbahasa indoensia yang baik dan benar. Baginya, itu tak menjadi masalah. Terpenting sebenarnya yang penting orang tidak melupakan bahasa lokalnya. “maka dibutuhkan waktu yang lama untuk terus membangun budaya local dalam jiwa generasi saat ini”, ucapnya.
Tantangan zaman seyogyanya tak bisa dipungkiri. Kebudayaan secara substansi sedikit demi sedikit tentunya akan terus tergerus. Hal itu juga tentunya sangat penting terkait dengan seleksi alam sebuah kebudayaan. sebab kita harus menghidupkan budaya lama yang cocok dengan tantangan zaman. Namun, hal yang perlu diingat bahwa nilai dari sebuah kebudayaan harus tetap ada. Nilai yang dimaksud adalah lempuk yang berartikan jujur, awarangingeng artinya berani, amaccangeng yaitu pintar dan agettengeng atau teguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H