Assalamualaikum. Wr. Wb. Akhirnya aku menghirup lagi wangi udara Bogor, setelah terakhir kali aku berpijak di bawah langitnya lebih dari setahun yang lalu. Seperti dahulu, kali ini aku juga menumpang kereta kelas ekonomi Bengawan Senja dari stasiun Purwosari, Solo sampai di Stasiun Manggarai, Jakarta. Idul Adha kali ini, kami memilih merayakannya di Bogor, setelah tahun lalu, kami mendapati pengalaman lebaran yang tidak terlalu manis untuk dilewatkan di Solo. Disana, suasana lebaran tidak begitu menggigit seperti di Sulawesi, maka kami berangkat ke Bogor, untuk berkumpul dengan sesama warga Sulawesi merayakan Idul Kurban. Aku dan kawan-kawan meninggalkan Solo jam 17.30 dan tiba di Jakarta  jam 04.30 dinihari. Cerita terulang lagi, begitu turun dari kereta. Pemandangan Manggarai, dimana beberapa ibu-ibu tidur di peron kereta. Anaknya, tiga orang, dijajarkannya layaknya dagangan diatas sehelai karung goni. Dulu, hatiku begitu tercabik disajikan realita seperti ini. Tetapi sekarang, entahkah karena telah terbiasa atau apa, aku tidak lagi terlalu lama memasukkannya dalam hati. Cerita tentang pedagang kaki lima juga tidak banyak berubah. Mereka memulai harinya bahkan sebelum fajar menyingsing di ufuk timur. Kehidupan ibu kota yang keras mengharuskan mereka untuk menggeliat pada waktu peri-peri malah mengayun-ayun pembaringan, saat terbaik untuk tetap berada dibawah selimut. Tetapi diluar semuanya itu, ada yang kurasakan berbeda dalam kesempatan kali ini. Sebelumnya, pengalaman naik Bengawan Senja khas dengan gerbong kereta yang kumuh, seat yang tidak pernah cukup, barisan ular naga panjangnya para penjajah barang, cemprengnya suara pengamen yang sepertinya tidak lagi menjual seni tetapi memanfaatkan kecemprengan mereka agar orang rela merogoh kantong hanya demi menghentikan mereka mempolusikan telinga, dan aroma prasangka yang kental. Ketika pertama kali saya memasuki lambung kereta ini, lebih dari setahun yang lalu, saya hampir tidak bisa memejamkan mata. Sepanjang malam saya bertahan dengan kelopak mata yang kian berat seiring dengan merangkaknya detik demi detik menuju pagi. Saya  memeluk erat-erat ransel saya, memastikan dompet dan handphone tidak berpindah tempat secara gaib. Keadaan KA Bengawan Senja sebelum seperti sekarang. The source of Pic is here Ancaman lain adalah aroma tidak sedap setiap kali para pedagang itu lewat di sampingku, membuat keadaan semakin tidak nyaman. Belum lagi pengapnya asap rokok yang mencekik tak henti-henti meracuni paru-paru. Bahkan, duduk tenang di seat sendiri pun tidak bisa lega. Mengapa? Karena  pihak Kereta Api masih saja menjual tiket mesti seat kereta sudah penuh. Alhasil, lorong-lorong kereta yang memang sudah sempit, semakin sesak dengan gelimpangan penumpang yang duduk bahkan berbaring dengan beralas koran. Bayangkan saja, betapa chaosnya  keadaan seperti itu. Berbagi oksigen yang bercampur karbondioksida sisa orang lain. Bau keringat, bau mulut, bau ketek, dan bau toilet yang tidak bisa tertutup rapat menguar menjadi satu. Saking sempitnya lorong-lorong gerbong, yang telah dibajak lagi oleh penumpang yang membludak, pedagang dan juga pengamen tidak pernah tidak menyenggol kepalamu ketika mereka lewat. Sungguh, sangat kacau. Kala itu aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan menahan keki dalam hati. Tetapi aku juga takjub akan kesabaran para penumpang yang seakan menikmati saja keadaan seperti ini. Sebagai pendatang baru di tanah Jawa, aku belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Transportasi di Sulawesi, tepatnya di Kendari, tidak seperti ini. Belakangan, setelah mengunjungi beberapa tempat di Jawa, aku berkesimpulan bahwa transportasi di Kendari adalah yang terkeren diantara semuanya.  Penilaianku ini diamini teman-teman dari Kendari yang juga telah lalu-lalang di tanah Jawa. Memang tidak ada kereta api di Kendari, tetapi kami memiliki pete-pete (angkot) yang bisa dibilang "elit" jika dibandingkan dengan angkot di Jawa. Banyaknya armada plus angkot keren yang di lengkapi dengan musik terkini, sangat memanjakan penumpang pete-pete di Kendari. Menjadikan pete-petenya sekeren mungkin sepertinya sudah menjadi keharusan bagi para supir agar mendapat penumpang. Bukan rahasia lagi bahwa penumpang pete-pete di Kendari sangat pemilih. Jangan harap mereka akan naik pete-pete yang jelek. Ngetem sedikit saja, penumpangnya akan ngomel-ngomel dan memilih turun saat itu juga. Kondisi ini berkontradiksi 180 derajat dengan di Jawa, yang meskipun angkotnya ngetem sejam lebih, bahkan sampai mematikan mesin mobil, penumpang anteng-anteng saja, duduk menunggu dengan manis dan sabar. Jadilah demi berduel dengan keadaan seperti ini untuk pertama kali, aku kebanyakan meringis dan mengurut dada. Sabaaaarrrr... mahasiswa dengan saku terbatas naiknya kelas ekonomi, ntar kalo uang jajannya lebih, naek bisnis atau eksekutif dahhh... :P
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI