Artikel berjudul "Konstruksi Hukum yang Bersumber dari Realitas Sosial (Suatu Implikasi Terhadap Sosiologikal Jurisprudensi)" karya Andi Kasmawati membahas pandangan Max Weber mengenai rasionalitas dan kekuasaan dalam pembentukan hukum. Weber mengklasifikasikan tingkat rasionalitas dalam masyarakat menjadi tiga tipe: substansif-irasional, substansif, dan rasional penuh, yang masing-masing mencerminkan karakteristik hukum dalam konteks sosial yang berbeda. Ia juga membagi tipe otoritas menjadi tiga kategori: otoritas kharismatik, tradisional, dan rasional, yang menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat berfungsi dalam masyarakat. Weber berargumen bahwa tingkat rasionalitas suatu masyarakat akan mempengaruhi bentuk dan penerapan hukum, serta menyoroti konflik antara rasionalitas formal dan substantif, di mana sering kali rasionalitas formal mendominasi dalam konteks masyarakat Barat.
   Berikut adalah pokok-pokok pemikiran Max Weber yang dijelaskan secara singkat dalam artikel tersebut:
- Tingkat Rasionalitas: Weber mengidentifikasi tiga tingkat rasionalitas dalam masyarakat yang mempengaruhi hukum:
- Substantif-Irasional: dimana hukum tidak terstruktur dan lebih bersifat intuitif.
- Substantif: dimana hukum mencerminkan nilai-nilai budaya yang ada.
- Rasional Penuh: di mana hukum diatur dengan jelas dan terkodefikasi.
- Tipe Otoritas: Weber membagi otoritas menjadi tiga kategori yang mencerminkan cara kekuasaan dijalankan dalam masyarakat:
- Kharismatik: Otoritas yang berasal dari daya tarik pribadi dan kemampuan individu.
- Tradisional: Otoritas yang didasarkan pada norma dan praktik yang telah ada sejak lama.
- Rasional: Otoritas yang berlandaskan pada sistem hukum dan prosedur formal
- Konflik antara Rasionalitas: Weber menyoroti bahwa dalam masyarakat Barat, sering terjadi konflik antara rasionalitas substantif (yang lebih berorientasi pada nilai-nilai) dan rasionalitas formal (yang lebih berorientasi pada aturan dan prosedur). Dalam banyak kasus, rasionalitas formal cenderung mendominasi, yang dapat mengabaikan nilai-nilai sosial yang lebih mendalam.
- Pengaruh pada Hukum: Weber berpendapat bahwa tingkat rasionalitas dalam masyarakat akan menentukan bentuk dan penerapan hukum. Hukum tidak hanya merupakan sekumpulan aturan, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
- Kritik terhadap Pendekatan Material: Weber berbeda dengan pemikir lain seperti Marx, yang lebih fokus pada faktor ekonomi sebagai dasar teori hukum. Sebaliknya, Weber menekankan pentingnya rasionalitas dan kekuasaan dalam memahami bagaimana hukum berfungsi dan berkembang dalam konteks sosial.
   Pemikiran Weber memberikan kerangka untuk memahami interaksi antara hukum, masyarakat, dan kekuasaan, serta bagaimana faktor-faktor sosial mempengaruhi sistem hukum. Pemikiran Max Weber tetap relevan dengan kondisi masa kini karena beberapa alasan:
- Tingkat Rasionalitas: Konsep Weber tentang berbagai tingkat rasionalitas (substantif, substantif-irasional, dan rasional penuh) membantu kita memahami bagaimana hukum berfungsi dalam konteks sosial yang berbeda, terutama dalam menghadapi isu-isu keadilan sosial dan hak asasi manusia.
- Tipe Otoritas: Dengan meningkatnya populisme dan otoritarianisme, pemikiran Weber tentang tipe otoritas (kharismatik, tradisional, dan rasional) memberikan wawasan tentang bagaimana kepemimpinan saat ini dapat mempengaruhi legitimasi hukum dan stabilitas sosial.
- Konflik antara Rasionalitas: Ketegangan antara hukum formal dan tuntutan masyarakat untuk perubahan yang lebih responsif mencerminkan relevansi pemikiran Weber dalam konteks globalisasi dan perubahan sosial yang cepat.
- Kritik terhadap Pendekatan Material: Penekanan Weber pada nilai-nilai dan norma sosial sebagai faktor penting dalam pembentukan hukum mengingatkan kita bahwa hukum tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh konteks budaya dan sosial.
   Secara keseluruhan, pemikiran Weber memberikan kerangka yang berguna untuk menganalisis tantangan hukum dan sosial yang dihadapi masyarakat saat ini, serta bagaimana hukum dapat berfungsi untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial.
   Selanjutnya Artikel yang berjudul "Hubungan Hukum dan Moralitas Menurut H.L.A Hart" Karya Petrus CKL. Bello membahas pandangan H.L.A Hart mengenai hubungan antara hukum dan moralitas, di mana ia berargumen bahwa meskipun terdapat interaksi antara keduanya, hubungan tersebut tidak bersifat mutlak. Ia menjelaskan bahwa hukum terdiri dari aturan primer yang menimpakan kewajiban dan aturan sekunder yang memberikan landasan bagi aturan primer. H.L.A Hart menolak pandangan yang mengidentikkan hukum dengan moralitas, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan dalam memahami masalah hukum. Ia berpendapat bahwa hukum harus dapat dikritik secara moral, dan pemisahan yang jelas antara hukum dan moralitas diperlukan untuk menjaga keadilan dan keterbukaan dalam sistem hukum.
   Pokok-pokok pemikiranH.L.A Hart dalam artikel tersebut meliputi:
- Keterpisahan Hukum dan Moralitas: H.L.A Hart berargumen bahwa meskipun ada hubungan antara hukum dan moralitas, hubungan tersebut tidak bersifat mutlak. Hukum tidak harus selalu mengacu pada moralitas, dan keduanya dapat berdiri terpisah.
- Struktur Hukum: Hart menjelaskan bahwa hukum terdiri dari dua jenis aturan: aturan primer, yang menetapkan kewajiban, dan aturan sekunder, yang memberikan dasar bagi aturan primer. Kombinasi kedua jenis aturan ini merupakan inti dari sistem hukum.
- Pengaruh Moral dalam Penafsiran Hukum: H.L.A Hart mengakui bahwa pandangan moral dapat mempengaruhi interpretasi hukum oleh hakim, tetapi ia menolak kesimpulan bahwa hukum dan moralitas harus selalu saling terkait.
- Kritik terhadap Positivisme Klasik: Hart mengkritik pandangan positivisme hukum klasik yang sepenuhnya memisahkan hukum dari moralitas, dengan menunjukkan bahwa pemisahan tersebut dapat mengakibatkan masalah dalam penerapan hukum yang adil.
- Kritik Moral terhadap Hukum: H.L.A Hart menekankan pentingnya kemampuan untuk mengkritik hukum dari perspektif moral, dan bahwa pemisahan yang jelas antara hukum dan moralitas diperlukan untuk menjaga keadilan dan keterbukaan dalam sistem hukum.
- Implikasi Praktis: Hart memperingatkan bahwa jika hukum dan moralitas tidak dipisahkan, hal ini dapat menyebabkan konservatisme (di mana hukum dianggap sebagai perintah moral yang tidak dapat dikritik) atau anarkisme (di mana individu menolak hukum yang tidak sesuai dengan pandangan moral pribadi mereka).
   Pemikiran H.L.A Hart ini berusaha untuk memberikan kerangka yang lebih jelas dalam memahami hubungan antara hukum dan moralitas dalam konteks hukum modern. Pemikiran H.L.A Hart tetap relevan dalam konteks hukum saat ini, meskipun telah ada perkembangan dan kritik terhadap teorinya. Berikut adalah beberapa pendapat mengenai relevansi pemikiran Hart di masa sekarang:
- Keterpisahan Hukum dan Moralitas: Pendekatan H.L.A Hart yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas memberikan ruang bagi analisis hukum yang lebih objektif. Dalam konteks hukum modern, di mana hukum sering kali harus diterapkan secara konsisten dan tanpa bias moral, pandangan ini membantu menjaga integritas sistem hukum.
- Struktur Hukum: Konsep yang dikemukakan H.L.A Hart tentang aturan primer dan sekunder masih digunakan dalam diskusi tentang bagaimana hukum berfungsi. Pemahaman ini membantu dalam menganalisis bagaimana hukum dapat beradaptasi dengan perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat.
- Kritik terhadap Positivisme Klasik: H.L.A Hart memberikan kritik yang konstruktif terhadap positivisme hukum klasik, yang masih relevan dalam diskusi tentang batasan dan kekuatan hukum. Dalam konteks globalisasi dan pluralisme nilai, pemisahan yang terlalu ketat antara hukum dan moralitas dapat mengabaikan konteks sosial yang lebih luas.
- Kritik Moral terhadap Hukum: Dalam era di mana isu-isu keadilan sosial dan hak asasi manusia semakin mendominasi, pentingnya kritik moral terhadap hukum menjadi semakin jelas. Pemikiran H.L.A Hart yang mendorong kritik terhadap hukum dari perspektif moral dapat membantu dalam memperjuangkan keadilan dan reformasi hukum.
- Implikasi Praktis: Peringatan H.L.A Hart tentang potensi konservatisme dan anarkisme akibat ketidakpastian dalam hubungan hukum dan moralitas masih relevan. Dalam konteks politik dan sosial yang sering kali polarizing, pemisahan yang jelas dapat membantu mencegah ekstremisme dalam penegakan hukum.
   Secara keseluruhan, meskipun ada kritik dan perkembangan baru dalam teori hukum, pemikiran H.L.A Hart memberikan dasar yang kuat untuk memahami dan menganalisis hubungan antara hukum dan moralitas, serta tantangan yang dihadapi oleh sistem hukum modern.
   Analisis perkembangan hukum di Indonesia dengan menggunakan kerangka pemikiran Max Weber dan H.L.A. H.L.A Hart:
   Pemikiran Weber dan H.L.A Hart memberikan kerangka analisis yang sangat berguna untuk memahami kompleksitas sistem hukum di Indonesia. Dengan memahami akar historis, sosial, dan budaya dari hukum Indonesia, kita dapat merumuskan kebijakan hukum yang lebih baik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Perkembangan hukum di Indonesia dapat dianalisis melalui pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart, yang menawarkan perspektif berbeda tentang hubungan antara hukum, rasionalitas, dan moralitas. Menurut Weber, sistem hukum Indonesia menunjukkan adanya transisi dari otoritas tradisional menuju otoritas rasional-legal, di mana hukum semakin diatur oleh prinsip-prinsip rasionalitas formal. Misalnya, pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, hukum banyak dipengaruhi oleh kebiasaan dan tradisi lokal, mencerminkan rasionalitas substantif. Namun, seiring modernisasi dan reformasi hukum, Indonesia semakin mengadopsi sistem hukum yang terkodefikasi dan rasional. Hal ini terlihat dalam upaya pemerintah untuk menyelaraskan hukum nasional dengan standar hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi.
   Di sisi lain, pemikiran H.L.A Hart mengenai keterpisahan hukum dan moralitas juga relevan dalam perkembangan hukum Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia, meskipun nilai-nilai moral dan agama memiliki pengaruh kuat, terutama dalam pembentukan undang-undang seperti UU Pornografi dan UU Perkawinan, prinsip-prinsip hukum tetap diupayakan untuk dipisahkan dari moralitas tertentu guna menjaga pluralitas dan keadilan. H.L.A Hart menekankan pentingnya pemisahan tersebut untuk mencegah dominasi moralitas mayoritas terhadap kelompok minoritas. Kritik H.L.A Hart terhadap positivisme klasik juga dapat diaplikasikan, terutama dalam konteks pengawasan terhadap perundang-undangan, di mana aturan hukum perlu tetap terbuka terhadap kritik moral demi menjaga keadilan dan kemaslahatan publik. Kedua pemikiran ini menggarisbawahi tantangan Indonesia dalam menyeimbangkan antara nilai-nilai tradisional, moralitas, dan kebutuhan akan hukum yang rasional dan adil bagi masyarakat modern yang semakin kompleks.