Hari ini (22/3) akhirnya saya menjadi kompasiner ke dua ratus sekian ribu setelah rencana itu masih saya tunda sejak jumlah Kompasianer masih di angka seratus ribuan. Saya sering kali sulit mengambil keputusan hanya karena terlalu banyak menimbang-nimbang dan berakhir dengan urung. Terakhir kali saya sempat hendak registrasi menjadi Kompasianer sekitar 3 atau 4 bulan lalu, namun urung lagi karena minder dengan tulisan-tulisan Kompasianer yang saya anggap jauh lebih bagus dari tulisan amatir saya. Dan lagi jumlah Kompasianer yang sudah ratusan ribu membuat saya berpikir lagi, apalah artinya saya dibanding jumlah mereka yang begitu banyak, nanti siapa yang akan mau baca karena ratusan ribu penulis menyajikan yang lebih bagus. Ada lagi yang membuat saya minder yaitu ‘pangkat’ verifikasi biru, jika tidak ada centang biru di sebelah nama saya mungkin tidak ada yang berminat membaca postingan saya.
Saya suka menulis dan suka membaca, belum bisa menulis tapi sudah bisa membaca, jadilah saya lebih sering membaca ketimbang menulis. Dalam hal ini yang saya maksud adalah menulis yang tulisannya sudah memiliki pembaca, sudah ada penikmatnya. Kalau untuk menulis dikonsumsi sendiri sudah banyak, dan berakhir pada draft tidak rampung. Katanya yang disebut karya itu adalah yang memiliki penikmat, jadi kalau untuk koleksi konsep-konsep di kertas atau di komputer yang dibaca dan ditulis sendiri bukan merupakan sebuah karya. Bagi saya semua orang bisa menulis hanya saja untuk sampai disebut sebagai tulisan/karya harus mengandung nilai layak baca, yang kalau dibaca orang lain menjadi bermanfaat. Jadi saya termasuk golongan yang belum bisa menulis.
Poin yang menjadi pertimbangan terbesar untuk daftar menjadi kompasiner adalah apakah tulisan saya akan layak dibaca? Apakah akan bermanfaat bagi orang lain? Pertanyaan itu terus muncul dan saya menjawabnya sendiri setelah datang di rangkaian acara Kompas Kampus di Surabaya. Banyak orang yang tidak bisa menjadi bisa ketika mencoba, hanya perlu lebih percaya diri dan bersedia belajar lebih banyak. Jika saya tidak menjadi Kompasianer yang ke dua ratus sekian ribu ini maka 2 atau 3 bulan lagi bisa jadi saya akan menjadi yang ke satu juta, lalu saya urung lagi karena semakin minder hehehe.
Awalnya saya tahu Kompas Kampus akan ke Surabaya dari seorang teman, saya tertarik, sangat tertarik. Dalam hati saya sedikit ragu karena sudah bukan mahasiswa dan bukan menjadi bagian kampus lagi hehehe. Kemudian saya menyanggahnya sendiri, “lalu kenapa?” toh tidak ada syarat yang ditulis adalah harus masih mahasiswa. Hari pertama workshop tanggal 20 Maret 2015 saya datang sendirian pukul 09.15 untuk daftar ulang, lalu pulang dan datang lagi pukul 13.00 karena materi yang saya minati dimulai pukul 13.30 yaitu Workshop Jurnalistik Harian Kompas. Saya tertarik dengan dunia media sejak lama, namun sampai usia yang sekarang saya masih bingung harus memulai dari mana. Dan setelah materi ini saya semakin diiming-imingi untuk menjadi wartawan karena sebelumnya memang ingin menjadi wartawan. Wartawan itu pekerjaan yang sangat-sangat…..tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata, intinya saya memimpikan untuk menjadi wartawan, untuk menjadi pekerja media, untuk menjadi bagian dari perubahan.
Materi berikutnya adalah Drone Journalism KompasTV. Pada materi itu ada tawaran yang menggiurkan yaitu untuk membuat kultwit di twitter mengenai materi Jurnalisme Drone, pemenang yang terpilih akan mendapatkan beasiswa magang di KompasTV selama 2 bulan. Tidak perlu pertimbangan, saya langsung mengikuti kultwit yang diperintahkan. Meskipun sebenarnya ada satu hal yang saya ragukan karena saya sudah bukan mahasiswa dan kemungkinannya kecil untuk diberi kesempatan magang. Karena yang saya tahu kriteria untuk magang di KompasTV minimal semester 7, dalam hati “kan minimal, tidak ada maksimalnya, hehehe” jadi saya coba saja, siapa tahu Tuhan memberikan kesempatan untuk orang seperti saya, yang mungkin memang butuh untuk diberi kesempatan.
Sepulangnya pada hari pertama saya mendapat DM (Direct Message di Twitter) bahwa saya menjadi nominasi penerima beasiswa magang di KompasTV. Sontak saya kaget dan berucap syukur, padahal masih nominasi. Saya diminta mengirim nama, usia, dan semester kuliah melalui email. Harapan saya mengecil lagi, karena saya sudah tidak punya semester. “Ah kenapa tidak diminta menuliskan motivasi untuk magang di KompasTV” kata saya dalam hati. Tapi biarlah keberuntungan yang membuat adil semua keputusannya nanti, semoga yang lebih membutuhkan kesempatan yang akan menang. Jikapun akhirnya saya tidak menang beasiswa magang mungkin saya akan dapat hadiah lain, iPhone 6 misalnya, hehehe.
Hari ke dua ada materi Kompasiana Blogshop pada jadwal pertama, saya terlambat tapi tidak banyak, mungkin ketinggalan 1 atau 2 slide PowerPoint. Pada penyampaian materi itu saya menjadi semakin yakin untuk menjadi Kompasianer karena yang dibutuhkan untuk menjadi Kompasianer adalah registrasi, itu saja. Sisanya, menulis apa atau tulisannya bagus atau tidak itu urusan selanjutnya. Banyak kebaikan dan manfaat yang lebih layak saya pertimbangkan daripada mempertimbangkan tulisan saya akan layak baca atau menjadi Kompasianer yang ke berapa. Saya bisa banyak belajar dengan Kompasianer nantinya dengan mengikuti kopi darat atau diskusi yang diselenggarakan.
Acara selanjutnya adalah talkshow Rosiana Silalahi. Menghadirkan Ibu Walikota Surabaya Tri Risma Harini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azhar Anas, Raditya Dika dan Pandji Pragiwaksono. Sepanjang hari ini dan kemarin saya jadi kaya motivasi. Acara Kompas Kampus perlu diadakan di lebih banyak kota karena banyak mahasiswa-mahasiswa dan mantan mahasiswa seperti saya ini yang butuh motivasi. Meskipun fase ini seharusnya sudah saya lalui ketika masih menjadi mahasiswa namun bukankah tidak ada keterlambatan yang bisa menjadi hambatan. Biarlah saya menyesal karena terlambat daripada menyesal tidak pernah melakukannya
Di pengujung acara pengundian Doorprize dan pemenang beasiswa magang di KompasTV diumumkan, saya berdoa sederas-derasnya. Sejak semalam sudah terbayang saya akan beraktivitas di KompasTV selama 2 bulan, saya akan belajar banyak dan kesempatan untuk langkah pertama saya sudah dimulai. Namun kurang beruntung ternyata bukan nama saya yang dipanggil. Ah, saya kecewa sebenarnya, keinginan saya tidak diridhai Tuhan. Mungkin bukan rezeki dan bukan jalan yang ditunjukkan Tuhan pada saya, mungkin sedang ditunjukkan jalan yang lain.
Pada 2 hari itu setidaknya saya mendapat 4 kebaikan. Yang pertama saya mendapat sertifikat dari Kompas Kampus, yang ke dua saya mendapat motivasi luar biasa untuk mensyukuri dan mengupayakan minat saya pada dunia jurnalisme dan media, yang ke tiga saya akhirnya menjadi Kompasianer dan yang terakhir saya akhirnya sadar bahwa setiap manusia diberikan bakat dan minat yang berbeda. bakat adalah apa yang dimiliki sejak lahir dan minat adalah apa yang sangat kuat diinginkan. Keduanya membutuhkan perhatian dan upaya untuk menjadi mahir, tidak ada bakat yang mahir tanpa diasah dan tidak ada minat yang mahir tanpa dilakukan. ‘Minat’ meminta kita untuk melakukan dari nol, dan tidak ada solusi selain ‘memulai’. Minat saya pada dunia media dan jurnalisme harus dimulai, hanya belajar teori saja tidak cukup, hanya melihat dan menikmati hasilnya dari jarak tertentu saja tidak cukup, saya harus melipat jarak, mendekat dan menjadi bagian. Harus masuk ke dalam air untuk bisa berenang. Dan kesempatan yang dibutuhkan saya pikir tidak cukup dengan saya harapkan saja, karena ada banyak hal yang tidak dapat diketahui manusia lain selain ditunjukkan. Mengharapkan dapat kesempatan magang di KompasTV adalah sebatas harapan, saya tidak mengambil andil mengupayakan. Itu adalah satu dari sekian ribu harapan yang akan pupus di hadapan saya nantinya. Tapi harapan tidak memiliki kadaluarsa, kesempatan masih bisa diupayakan.
“A professional writer is an amateur who didn’t quit” Richard Bach
Ririnsetya, 22 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H