ADA kata yang tidak bisa aku ungkapkan tapi bisa terpancar dari setiap kerlipan mata. Ah entahlah seperti menggoda tetapi tertarikpun tidak. Ingin ku biarkan tapi aku pun tidak mau ia merasuki lebih dalam.
Angin berlalu begitu saja seperti tidak ada rambu yang bisa ia hormati. Begitu pun demikian dengan sang petir yang selalu menyambar tatkala ia tidak berteman dengan pelangi. Saat itu pula awan mendung mendatangiku untuk mengatakan selamat tinggal.
Wahai sang matahari ? Masihkah bunga-bunga disana menunggumu untuk memberinya sinar? Ataukah engkau telah sibuk menyinari bunnga di tempat yang lain. Tapi yang aku tahu bungaku kini disinari dengan sebuah sinar. Tapi kali ini ia tidak sama sepertimu matahari. Sepertinya ia lain dan memberi kehangatan yang jauh darimu.
Adakah itu bulan ? Sepertinya bulan tidak sama sepertimu ia menyinariku dalam kegelapan. Ia menerangkan setiap langkahku menuju suatu tempat. Tempat yang bisa aku katakan di bawah pohon teduh berlabuh dengan dedaunan yang ditiup angin jatuh di sela-sela padang pasir.
Halo Padang pasir? Engkau tandus sekarang ? Sepertinya tidak menurutku... kau sekarang nyaman dengan segala yang kau miliki. Kau menatap ke depan. membiarkan yang lalu berlalu dan membuatmu merasa nyaman dengan kondisi sekarang. Akankah kau akan meninggalkan pasirmu ? Sungguh tidak kau hanya butuh menghempaskan unta-unta yang datang dan menerima unta baru yang bisa selaras denganmu.
Hai Unta. masihkah kau punya kantung makanan di salah satu bagian tubuhmu ? Aku yakin demikian. Kau mempunyai banyak kantung kebahagian yang masih tersisa kan. Akan kupanggilkan sang pawangu untuk memberimu beberapa makanan yang bisa kau simpan untuk mencukupi kebutuhan kebahagiaanmu. Kau tidak perlu banyak. Kamu hanya butuh yang cukup. Karena cukup membuatmu tidak rugi, tidak pula kekurangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H