Mohon tunggu...
Dwi Rini Endra Sari
Dwi Rini Endra Sari Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta...smp-kuliah di Jogja kembali lagi ke Jakarta untuk mengabdi kepda negara di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Derita Pasien di Tengah Kesakitan

15 Juli 2014   22:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:14 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui lembar ini, penulis ingin menuangkan spenggal kisah yang menjadi cermin nyata nasib pasien di rumah sakit. Iya, kita tahu bahwa rumah sakit merupakan suatu lokasi terakhir yang dituju oleh masyarkat tatkala pasien mengalami keringkihan bahkan tidak menyadari apa yang terjadi olehnya.

***

Kala itu di sebuah rumah sakit swasta yang berlokasi di kota gudeg, terdaftar seorang pasien lanjut usia. Beliau adalah tak lain Ayah dari seorang penulis yang sedang memandangi computer tuk mengetik kata demi kata menguraikan kejadian itu.

Kita panggil saja dengan sebutan Bapak EN. Baru dua bulan beliau menutup usia dari penyakit yang diderita selama satu tahun, yaitu Gagal Ginjal. Penyakit yang harus menjalani cuci darah rutin.

Kisah ini bermula dari Bapak EN yang tiba-tiba terserang stroke setelah menjalani transfusi. Singkat cerita, beliau dilarikan ke rumah dan mendapat perawatan. Sehari setelah menginap di kamar kelas I C, tiba-tiba saja kedua anaknya dikejutkan kondisi Bapak EN.

Kondisi Bapak EN yang koma membuat kami tidak dapat memprediksi kapan Beliau sadar. Hati kami menangis melihat kondisi Beliau diantara Hidup atau wafat. Harapan kami semakin menipis saat Dokter memvonis tidak ada harapan untuk hidup, hanya menunggu waktu.

Kami pun sudah pesimis dan ingin memindahkan beliau ke kelas III isolasi, tetapi saat itu ruangan tersebut penuh. Kami pun mencari jalan keluar, tiba-tiba kerabat member tahu akan program BPJS.Penulis pun berusaa mendaftarkan Beliau menjadi anggota BPJS. Tak lama, hanya membayar sebeser R 60.000,- sesuai kelas, kartu itu pun keluar.

Kami pun dapat lega dan sedikit ada harapan,. Kami pun segera melunasi pembayaran Bapak kami dari awal hingga hari itu. Setelah itu kami meneruskannya dengan kartu BPJS.

***

Kala adzan subuh dikemudangkan, kami terkejut melihat tangan Bapak kami memanggil kami. Kami pun segera mendekatinya. Tetapi saat itu, kedua mata beliau belum dapat melihat kami.

Kami pun membisikkan sebuah kalimat yang mampu membuat Beliau meneteskan air mata. Matahari pun telah terbit. Tepat pukul 09.00 pagi, kedua mata beliau mampu melihat kami dan kembali air mata itu membasahi pipinya.

Dokter pun sangat terkejut dan terheran-heran melihat kondsi ayah kami yang telah sadar. Doketr itu pun menyarankan kepada kami untuk tidak keburu-buru pulang karena dikhawatirkan akan berdampak negative bagi pasien.

***

Dua hari setelah itu, dokter tersebut menyuruh kami untuk segera home care. Kami pun kaget mendengarnya, maklum kami belum ada pengalaman akan hal ini.Lima hari setelah itu, tiba-tiba, tak sedikit suster yang menyarankan kami untuk pulang. Saat itu, kami curiga dan bertanya-tanya apakah ini gara-gara kami menjadi anggota BPJS?

***

Kondisi ini sangat berbanding terbalik ketika kita mengeluarkan biaya pribadi dengan saat kita menggunakan BPJS. Masih teringat hari kamis saat itu,dokter yang menangani ayah kami justru mengusir kami dengan cara halus, tetapi tetap saja hati ini sakit mendengar ucapan doketr itu.

Kala itu kami disuruh pulang hari itu juga, padahal kami belum diberitahu sebelumnya dan kondisi ayah kami masih stroke, belum dapat berjalan dan duduk.

Kami pun sepakat untuk menambah hari karena kami harus mempersiapkan kebutuhan home cae. Tentunya, kami hars mengelurakan biaya untuk menambah hari.

***

Pengalaman ini merupakan salah contoh pengalaman yang dialami pasien BPJS. Masih banyak pengalaman pasien BPJS di luar sana. Sungguh miris mendengar dan melihatrealita ini. Rumah sakit yang tidak mau dirugikan karena pemerintah yang telat membayarkan premi atau tidak sesuai dengan pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah sakit atau apalah kami sebagai masyarakat tidak mengerti.

Sikap-sikap merekalah yang tidak menemukan jalan tengah membuat pasien menjadi korban. Jika kejadian ini menimpa keluarga atau kerabat para kaum elite seperti mereka, bagaimana? dan apakah mereka dapat membayangkan jika mereka diposisi seperti kita kaum non-elite? dan jika kita ada di rumah sakit saat ini yang teasa adalah adanya kesenjangan sosial.

Uang….lagi-lagi itu permasalahannya. Tapi ada yang jauh lebih penting…yaitu kesehatan….apalah arti sebuah uang jika kita sudah  tidak sehat atau terbaring lemah?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun