Kita pun sering mendengar pertanyaan Apakah fenomena La Nina Lemah tahun 2016 akan bertahan dan menambah “basah” wilayah Indonesia?
Sebelum kita mengelupas pertanyaan yang ada di tengah-tengah masyarakat, sejenak kita tengok kebelakang kejadian pada tahun 2010, kita masih ingat akan fenomena la-nina. Di tahun 2010, la-nina pada intensitas sedang dan kemudian melemah menjadi kondisi ENSO Netral dan kembali menjadi La-Nina lemah pada pertengahan 2011.
La-Nina (Memanasnya suhu muka laut di wilayah Perairan Indonesia), Fenomena ini berdampak terhadap peningkatan curah hujan di wilayah). Tetapi, kita tidak hanya terfokus pada la-nina saja, banyak faktor yang mempengaruhi dinamika atmosfer.
Berdasarkan monitoring BMKG, Sejak April lalu hingga saat ini La-Nina dalam skala lemah (-), tetapi suhu muka laut di wilayah Perairan Indonesia hangat sehingga menimbulkan penguapan yang akan menimbulkan potensi hujan. Tak hanya itu, tetapi jika dilihat pada MJO, Kondisi ini aktif di Perairan Indonesia bagian timur dan berlanjut hingga pertengahan Agustus.
Sementara jika dilihat dari pergerakkan angin monsoon, saat ini angin monsoon Australia dalam kondisi lemah. Kondisi inilah yang mengakibatkan beberapa wilayah terguyur hujan.
Pada Agustus I sebanyak 253 ZOM (74%) baru masuk musim kemarau, sedangkan 89 ZOM (26%) belum masuk musim kemarau, seperti Jawa, Bali, NTB, Sulawesi, dan Maluku. Sementara itu, ada beberapa wilayah yang tidak mendapatkan musim kemarau, seperti Lebak Bagian Tengah dan Selatan, Bogor Selatan Bagian Timur, dan Sukabumi Bagian Barat.
Kemarau tahun ini lebih basah
Berdasarkan analisis curah hujan hingga pada periode Juli 2016 menunjukkan terjadiya anomali hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi “Lebih Basah” pada tahun 2016 dari situasi normal yang terjadi pada periode bulan yang sama, atau yang sering kita dengar “Kemarau Basah”. Kondisi inilah telah sebelumnya dan disampaikan melalui Jumpa Pers pada tanggal 3 Juni 2016.
Pada bulan Juni 2016, BMKG juga melaporkan bahwa beberapa wilayah (27.2%) hingga saat ini belum memasuki musim kemarau dan masih terus didera oleh curah hujan yang tinggi. Situasi ini menegaskan terjadinya “kemarau basah” atau sering dikenal pula “wet spell”. Kondisi tersebut lebih disebabkan oleh pengaruh:
- Tidak kuatnya Monsun Australia (Angin Timuran);
- Kondisi SST di perairan Indonesia yang lebih hangat;
- Indian Ocean Dipole (IOD[1]) Mode Negatif (nilai Indeks DMI = –1,09);
Sementara Berdasarkan montoring BMKG, pada Mei dan Juni 2016 titik panas disejumlah wilayah sudah mulai menurun, tetapi pada Agustus 2016, titik panas ada di sejumlah wilayah Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Kondisi ini tidak separah dibandingkan tahun 2015. Tidak hanya itu, tetapi berdasarkan pemantauan BMKG, perkembangan Hot Spot pada September, Oktober, November, Desember hampir tidak ada.
Hingga dasarian Agustus I - 2016, sebanyak 253 ZOM (74%) sudah memasuki musim kemarau. Sementara sebanyak 89 ZOM (26%) yang belum masuk musim kemarau / masih mengalami musim hujan di periode 2015/16 diantara ZOM tersebut terdapat 12 ZOM diprakiran tidak mengalami kemarau (hujan sepanjang tahun 2016). Andi Eka menuturkan Awal Musim Hujan 2016/17 di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada Agustus – November 2016 (92,7 %).