Mohon tunggu...
Ririn Syaefuddin
Ririn Syaefuddin Mohon Tunggu... -

Aku sekarang bekerja sebagai webwriter di Metro TV. Sejak 2008, aku pembaca setia Kompasiana. Tapi belum berani menulis di web ini. Habisnya, tulisan komunitas di sini bagus-bagus semua. Tapi aku janji, suatu saat aku harus bisa menulis di Kompasiana. Salah satu cita-cita terpendam yang sangat ingin aku ujudkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Waktu Alanis Bersama Ayah (Tamat)

19 Januari 2010   20:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

***

Bunda terduduk di tepi ranjang. Sementara Fachri memeluk adik kecilnya. Bunda tak berdaya, bingung berkata apa. Ia tak punya cara untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Alanis.

“Ayah berjanji akan datang. Lihat aja di handphone Alanis. Ada SMS Ayah yang meminta Alanis menunggunya. Agar kami bisa meniup lilin bersama.” Jemari Alanis menunjuk ke arah handphone di salah satu sudut ranjangnya.

Fachri memungut handphone itu. Ia pun menekan tombol handphone, membuka-buka inbox. Yang ia cari, tak ia temukan.

“Alanis, SMS ayah tak ada di dalam inboxmu,” ujar Fachri dengan lembut. Sangat lembut. Ia tak ingin hati lembut adiknya terluka dengan sebuah kenyataan itu.

Alanis merampas handphonenya. “Tak mungkin, Kak. Aku tak pernah menghapus SMS-SMS dari Ayah. Bahkan foto-foto Ayah masih ku simpan di handphone ini,” kata Alanis kasar.

Ia pun segera membuka handphonenya. Tangannya gemetar. Tak percaya. SMS Ayah tak ia temukan. Satupun tak ia temukan. Ia kemudian membuka galeri foto. Aneh. Foto terakhirnya bersama Ayah bertanggal 27 Desember 2009.

“Gak mungkin. Aku masih ketemu Ayah beberapa hari sebelum hari Ultahku. Ayah bahkan memelukku di saat hujan deras. Tiap minggu kami ketemu. Dan aku selalu mengabadikan pertemuan itu. Gak mungkin,” Alanis terduduk di lantai. Ia tak lagi mempedulikan banyaknya busa di sekitarnya.

“Alanis, ayo ikut Kakak,” ajak Fachri. Alanis semula menolak. Namun, Fachri berusaha meyakinkannya. Alanis akhirnya menerima ajakan itu. Sementara Bunda hanya bisa diam. Airmatanya tak lagi mengalir. Hatinya berharap, apapun kenyataan yang diterima Alanis tak akan menyakitkan.

***

“Kak, kenapa kita ke sini,” tanya Alanis yang heran ketika Fachri mengajaknya ke sebuah pemakaman. Pikirannya berkecamuk. Perasaannya tak tenang. Apakah ini ada hubungannya dengan Ayah. Tapi kenapa tak ada yang memberitahukannya, pikir Alanis.

Fachri tak menjawab. Ditariknya tangan Alanis menuju sebuah pusara. Ia hanya berharap, Alanis dapat menerima sebuah kenyataan yang pahit. Sepahit apapun itu. Dipegangnya pundak Alanis, ketika mereka mendekat ke sebuah pusara. Apapun yang terjadi, ia harus sigap.

“Hasbi Rahman bin Taufik Rahman,” Alanis berhenti membaca pusara itu. Tubuhnya gemetaran. Ditatap wajah kakaknya. Matanya berlinang. Dilihatnya Fachri mengangguk.

“Meninggal pada …3 Januari 2010……” dunia serasa berputar. Pandangannya gelap………………………...

Tamat



Ririn Syaefuddin @ January 20th 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun