Mohon tunggu...
Ririn Syaefuddin
Ririn Syaefuddin Mohon Tunggu... -

Aku sekarang bekerja sebagai webwriter di Metro TV. Sejak 2008, aku pembaca setia Kompasiana. Tapi belum berani menulis di web ini. Habisnya, tulisan komunitas di sini bagus-bagus semua. Tapi aku janji, suatu saat aku harus bisa menulis di Kompasiana. Salah satu cita-cita terpendam yang sangat ingin aku ujudkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Waktu Alanis Bersama Ayah (3)

19 Januari 2010   19:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beberapa penganan tersaji di meja prasmanan. Sebuah kue tart terletak di tengah-tengah perjamuan itu. Lima anak perempuan tampil begitu manis. Khas anak remaja. Mereka bercengkerama dan tertawa bahagia. Sementara di bagian taman lain, empat pemuda sedang bercanda. Mereka tampak bahagia di taman belakang rumah Alanis.

“Alanis sayang. Ayo kita turun. Teman-temanmu udah menunggu tuh di bawah,” Bunda merayu Alanis yang sedang duduk di depan meja riasnya.

“Bunda, Ayah sudah datang kah? Kok lama ya,” tanya Alanis kepada Bunda. Ia merasa gusar karena waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam tapi orang yang ia tunggu belum juga datang.

“Anak manja. Ayo turun,” kata Fachri dari pintu kamar berwarna pink itu.

Alanis mengangguk setuju. Ah, mungkin Ayah sudah di bawah. Ayah kan sudah janji akan datang. Dilihatnya dirinya di pantulan cermin itu. Rambutnya dikuncir kuda dan dibawa ke samping. Sebuah terusan pendek mnyelimuti tubuhnya. Warnanya pink, cocok dengan kulit putihnya. Hmmm, Ayah pasti kagum, bisik hatinya.

***

“Heh, anak manja. Ayo tiup lilinnya sekarang. Kasian temanmu dah pada nunggu,” bujuk Fachri kepada adik tersayangnya itu.

“Ntar dulu dong, Kak. Bentar lagi. Tungguin ayah ya. Kasian kan Ayah kalo tak melihat acara tiup lilinnya,” Alanis berusaha menunggu. Dilihatnya arloji di tangan kanannya. Arloji pemberian Ayah saat ia berulangtahun ke 15 tahun. Ia sengaja mengenakan arloji di lengan kanan. Agar mirip Ayah, katanya waktu itu.

“Sudah jam 10. Kok Ayah belum datang, ya,” kata Alanis lirih. Meski satu persatu temannya pamit pulang, Alanis tetap bersikukuh untuk menunggu kedatangan Ayahnya. Ah, tak mungkin Ayah ingkar janji, pikirnya.

Untuk kesekian kalinya ia menghubungi nomor Ayah. Berulang kali pula ia hanya mendengar suara operator. Meski demikian, ia yakin, Ayah akan datang.

***

Waktu menunjukkan tengah malam. Tapi, Ayah belum juga datang. Alanis masih menuai harapan. Tamu-tamunya sudah pulang. Bunda dan Kak Fachri duduk di ruang tamu. Alanis masih menunggu di taman belakang rumah. Tetap di samping kue tart ultahnya.

29 Januari

Matanya sembab. Airmata masih mengalir di pipinya. “Gak mungkin Ayah gak datang. Ayah udah janji. Ayah tak pernah ingkar janji,” Alanis mengeluh di atas tempat tidurnya. Ia tak lagi peduli dengan ketukan di luar kamar. Ia tak mau lagi mendengar permintaan Bunda yang memintanya keluar. Ia tak mau lagi mendengar bujuk rayu Fachri yang ingin menemuinya. Ia tak peduli hingga Ayahnya datang, pikirnya.

“Sayang, buka pintunya. Bunda ingin bicara denganmu,” teriak Bunda di antara ketukan jemarinya di pintu. Alanis tak peduli. Sama sekali tak peduli.

***

Brrrakkkkkkk……

Alanis kaget. Ditatapnya pintu yang telah lepas dari engselnya itu. Dilihatnya Bunda dan Fachri kini di depannya.

“Kak Fachri mau apa. Kenapa pintu kamar Alanis didobrak. Apa mau Kak Fachri,” ujar Alanis yang pitam karena tindakan kakaknya itu.

“Kamu kenapa, Alanis. Kamu kenapa,” tanya Bunda sambil menggoyang tubuh Alanis. Ia seolah tak lagi mengenal anak bungsunya itu. Wajah anaknya menghitam karena maskaranya luntur. Rambutnya acak-acakan. Dipandanginya busa-busa bantal yang berserakan di samping ranjang. Kacau, sangat kacau. Ia tak pernah melihat putrinya itu sekacau ini, meski ia bercerai dengan suaminya setahun silam.

Plaaak…..

Tamparan keras mengenai pipi Alanis. Alanis kaget. Bunda lebih kaget.

“Alanis sadar dong. Kamu jangan mimpi. Sadar,” kata Fachri mengguncang-guncang tubuh adiknya. Tapi Alanis hanya diam, membeku. Namun suara tangisnya masih terdengar.

“Ayah, Kak. Ayah kemana,” tanya Alanis dengan lirih.

Bersambung ...

Ririn Syaefuddin @ January 20th 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun