Mohon tunggu...
Ririn Arums
Ririn Arums Mohon Tunggu... -

Paling hobi menulis, fotografi, memasak dan baca semua jenis buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harga Diri

12 Juni 2012   04:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan seribu itukah kau menilai harga diriku

Serendah dan sehina itukah diriku di matamu

Aku menghormatimu

Tapi kau malah merendahkan harga diriku

Inikah penilaianmu atas diriku sebagai wanita Indonesia

Dan apakah ini nila setitik rusak susu sebelanga?

Hanya karena minoritas wanita Indonesia yang buruk

Hingga kau menyamakannya denganku

Maaf tuan, aku memang pembantu tapi aku punya harga diri

Dan selamanya kau takkan mampu membeli harga diriku

Karna harga diriku tidak ternilai

Langit masih menawarkan rintik-rintik air pada lautan manusia di sudut Chiayi. Tapi hawa panas ikut menyerang. Butir-butir keringat masih bercucuran membasahi pipi tembemku. Akupun tidak mempedulikannya karena di depanku telah berputar kipas angin, sambil aku menikmati semangkok mie ayam yang baru aku beli di toko Indonesia.

Tidak berapa lama setelah mie ayamku habis, terdengar siau pai menggonggong. Sepertinya ada tamu datang, aku segera bergegas menuju ruang tamu. Ternyata keke yang datang, dia kakak majikanku, setiap tanggal sepuluh atau sebelas dia datang untuk mengambil uang.

Ama yang tertidur pulas kini terbangun karena kedatangan keke. Aku biarkan mereka bercengkrama, aku duduk di samping ama mulai membaca buku yang barusan aku terima dari sahabatku. Sesekali aku lihat keke ke belakang, aku memang selalu tidak nyaman akan kedatangannya.

“ Lili, dimana kamu taruh koyok.” Tanyanya mengagetkanku yang sedang asyik membaca.

“ Ada di kotak obat ama.” Jawabku seraya mengambilkannya.

“ini,” Aku menyodorkannya selembar koyok. Dia menerimanya lalu aku kembali membaca bukuku.

Ah waktu terasa begitu cepat, ternyata sudah pukul setengah empat sore, itu tandanya aku harus segera ke dapur menyiapkan makan malam karena anak-anak asuhku sebentar lagi pulang. Sisa sayur tadi siang yang masih terhidang di meja makan aku bawa satu per satu ke dapur. Ternyata keke mengikuti ku ke dapur. Ada perasaan takut tiba-tiba menyelinap ke dalam hatiku.

Aku tidak mempedulikannya, aku segera mencuci beras. Di tengah keasyikanku mencuci beras, keke mengajakku bicara.

“Li, bantu tempelin koyok ini ke punggungku, sakit sekali.” Pintanya seraya membuka setengah baju yang menutupi punggungnya.

“Maaf keke, aku tidak mau.” Tolakku.

“Ayolah Li. Sakit ni.” Keke memelas sambil melangkah mendekatiku. Aku langsung lari keluar menemui ama.

“Ama, keke minta saya menempelkan koyok di punggungnya, tapi saya tidak mau,” Aku berujar kepada ama dengan kegelisahan yang menyelimutiku.

“Panggil dia, biar ama yang bantu dia.” Jawab ama seakan tahu apa yang aku rasakan.

“Keke ama mau bantu,” ujarku singkat lalu cepat-cepat beranjak dari hadapannya.

Satu menit, dua menit hingga tiga menit keke tak ujung datang mendekati ama, pikiranku semakin kalut. Tanpa pikir panjang, aku segera menelpon sahabatku yang biasa aku panggil cece.

“Halo, ada apa Li?” Tanyanya ramah.

“Cece, aku takut,” Akupun mulai menceritakan semua yang aku alami barusan. Aku tidak tahu harus bagaimana, sementara aku dalam keadaan takut.

“Li, kamu jangan bilang maaf. Kamu harus tegas jangan lemah Li. Kalau perlu ancam akan kamu laporin polisi, orang sini itu takut dengan polisi.” Cece terus menasehatiku.

Setelah merasa sedikit begitu tenang, aku mengakhiri obrolanku dengan cece, karena kebetulan ada tamu datang menemui ama. Ah rasanya sedikit lega, setidaknya ada orang di rumah.

Aku mencoba mengintip ke dapur melihat apa keke masih di dapur, ternyata dia sudah tidak ada, tapi aku lihat ada sandalnya di tangga, mungkin dia ke lantai dua. Melihat keadaan mulai aman, aku melanjutkan kegiatanku menyiapkan malam, aku biarkan ama berbincang dengan tamu yang tadi datang.

Setengah jam berlalu, makanan untuk makan malam sudah siap. Sekarang waktunya aku membantu ama mandi. Semua peralatan mandi ama ada di lantai dua, dengan perasaan was-was aku naik ke lantai dua, berharap keke tidak melakukan hal ynag aneh-aneh. Tapi apa yang kenyataannya jauh dari harapanku.

“ Lili, ayolah bantu aku,” Terdengar suara keke mulai membujukku kembali.

“Saya bilang tidak mau ya tidak mau,” jawabku ketus.

“Li, ni ada uang seribu. Kamu ambil tapi tolong bantu aku nempelin koyok ini,” Keke menyodoriku uang seribu sembari membuka setengah baju yang menutupi punggungnya, sama seperti di dapur tadi. Aku semakin ketakutan, tapi aku harus melawan.

“ Aku bilang tidak ya tidak, jangan paksa saya.” Aku mulai melawan.

“Ayolah, kamu bisa beli baju dengan uang ini.” Keke terus membujukku.

“ Saya memang pembantu, saya memang butuh uang. Tapi saya punya harga diri.” Aku makin ketus.

“ Jangan kau kira wanita Indonesia murahan ya! Kalau kau masih terus memaksa, saya akan laporkan polisi,” Lanjutku makin emosi.

Keke langsung diam aku menyebut nama nama polisi. Aku bergegas mengambil barang untuk keperluan ama mandi dan langsung secepat kilat menuruni lima belas anak tangga.

Kejadian yang membuatku tidak nyaman juga terjadilima bulan lalu, dimana keke mengikutiku saat membuang sampah. Tapi saat itu aku mencoba berfikir positif, mungkin saja dia takut aku kabur. Tapi tetap saja perasaanku benar-benar tidak nyaman.

Selain itu, setiap berkunjung ke sini entah sendiri atau bersama anaknya aku lihat keke selalu saja memperhatikanku, memandangku. Dan pandangannya seperti mau menerkamku. Ah bayang-bayang kejadian silam membuatku takut.

“ Yaa Allah, jauhkan hamba dari niat orang-orang yang hendak mencelakai hamba, jangan biarkan setan-setan terus membari semangat kepada mereka yang hendak menjauhkan hamba dari-Mu.”

“Kepada-Mu hamba berlindung, hamba pasrahkan segalanya kepada-Mu, karena hamba tahu, Engkau selalu memberi hamba yang terbaik termasuk cobaan ini.”

Kututup doaku bersama sujud isya ku. Kutanggalkan mukena putihku aku rapikan bersama sajadah kecil yang aku bawa dari Indonesia dulu. Selesai shalat hati dan pikiranku sudah mulai tenang, semoga ini kejadian terakhir dan aku tidak berharap terulang lagi apapun bentuk kejadiannya.

Harga diriku tidak akan mampu dibeli siapapun, apakah wanita Indonesia sudah begitu buruk di mata dunia, sehingga begitu banyak yang memandang rendah??? Pertanyaan yang hanya mampu di jawab hanya dengan bercermin kepada diri masing-masing.

Chiayi, 12 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun