Mohon tunggu...
Ristia Herdiana
Ristia Herdiana Mohon Tunggu... Pekerja seni -

I'm just ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan di Persimpangan

8 Maret 2015   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perempuan di persimpangan membiarkan tubuhnya dibasahi oleh rinai hujan
Ia begitu sibuk ikatkan segala bentuk kenangan di dalamnya
Di kisaran waktu tak bernama, setelah ribuan kali membunuh rasa ingin
Melupakan, ia terpekur
Dalam diam telah ia semayamkan rindu dan cintanya
Tanpa nisan tanpa nama

Perempuan di persimpangan terbalut gundah
Kelam langit senja menggoreskan warna kelabu di setiap lariknya
Desir angin telah membawanya ke penghujung cakrawala
Meluruhkan segala ingin dalam lintasan angan yang senantiasa hadir
Ia biarkan jalan cerita menapaki Takdir hingga ke titik nadir

Perempuan di persimpangan dalam rengkuhan rembulan
Merebahkan topeng yang ia kenakan dalam tungku jiwa
Hangat gelora dalam dada masih meraja
Menjadi sebuah dilema, berputar bak rotasi dunia
Hasratpun kian lekat diantara rindu berselimut karat

Perempuan yang menyimpan dendam di pekat jeruji malam
berselimutkan pedih bagai sayatan luka tersiram cuka
Tatap nanar dalam diam tak menyiratkan makna
Apakah kehendak diri atau kehendak semesta
Yang membuat ia kembali berdiri di persimpangan menatap mega
Menggengam segala kelu yang semakin kelabu

Perempuan di persimpangan antara dua sisi hati
Terucap sepenggal kata dalam buncah amarah
Teriakan lantang menggema,
“Kau laki-laki pecundang!! Kau reguk segala manis, kau tinggalkan racun hitam di tubuhku  dan kau masih menyebutku pendosa!!”

Jiwa dalam dada tak berdaya,
Hilang segala kata
Hampa dalam ketiadaan,
Tatap penuh kebencian,
Dinding hati berselimutkan kegelisahan
Perempuan tanpa rupa membeku
Terikat erat pada akar musim yang telah lama ditinggalkan

Perempuan di persimpangan dalam singgasana kecewa
Tergugu pilu dalam setiap bulir air mata yang perlahan menyapa
Riuh dalam benak selaksa angan buta terjebak sepi lelaki dalam ruang waktu
Masa lalu masih membelenggu dalam ingatan di relung rindu

Perempuan di persimpangan itu adalah aku
Kembali mengenakan topeng dengan lengkung garis bibir sendu
Memar meruntuhkan tegar bagai mengais cinta dalam luka
Kebisuan kembali merantai tali nurani
Lelah membelenggu sebagai kesetiaan yang bersitahan
Membuatku tanpa rupa
Tanpa air mata

#RiesHerdiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun