Saya termasuk orang yang tumpul dengan istilah-istilah di bidang ekonomi, termasuk istilah SSK atau Sistem Stabilitas Keuangan. Dari acara Nangkring Bareng Nangkring Bareng Kompasiana dan BI pada tanggal 1 Nopember 2014, mulai ada pencerahan mengenai SSK ini. Dimulai dengan penjelasan sederhana tentang Sistem Keuangan adalah:
“ kumpulan institusi dan pasar yang mana erdapat interaksi di dalamnya dengan tujuan mobilisasi dana dari surplus unit [pihak yang kelebihan dana] ke defisit unit [pihak yang kekurangan dana], dengan menggunakan insrumen keuangan”.
Dan pada mulanya, saya berpresepsi jika SSK itu ya tugasnya pemerintah dan segenap jajaran instansi yang membidangi perekonomian. Tapi, saya salah besar karena ternyata terciptanya SSK yang solid dan terintegrasi membutuhkan peran aktif setiap anggota masyarakat, yang dumulai dari unit terkecil yaitu keluarga. Yang lebih lagi, setelah menyimak pemaparan mengenai definisi Sistem Stabilitas Keuangan:
” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
Dimana Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.
Setidaknya ada empat ACTOR utama yang memiliki pengaruh significant pada Sistem stabilitas keuangan, yaitu: Keluarga [rumah tangga], Pengusha [bisnis], Pemerintah dan Foreigners. Terwujudnya sistem stabilitas keuangan yang paripurna membutuhkan sinergis dari semua komponen pembentuk sistem keuangan. Sehingga, ruang lingkup yang paling terdekat jangkauannya adalah kontribusi individual dalam mengelola keuangannya masing-masing. Bahwasanya setiap orang memiliki peran dalam terciptanya Sistem Stabilitas keuangan secara makro (nasional khususnya dan perekonomian global pada umumnya.
Banyak peristiwa yang berpotensi menyebabkan labilnya sistem keuangan, antara lain: laju inflasi dari waktu ke waktu, peristiwa-peristiwa yang terkait dunia politik, kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM, Pajak, TDL dan global market.
Pengalaman Labil Ekonomi
Situasi sulit keuangan dan menjadi multi kompleks dengan peristiwa krisis moneter di tahun 1998 merupakan shock therapy, tapi sejujurnya Alhamdulillah tidak sampai membuat saya menggelepar seperti ikan ketika tidak berada di air. Kenapa demikian? Sedikit flash black ke belakang, sebenarnya pada masa-masa saya masih anak-anak, sejatinya mengakrabi situasi labil ekonomi sudah merupakan keseharian saya sejak ketika masih di rumah. Serentetan krisis moneter merupakan bagian dari kondisi perekonomian yang melilit keluarga kami. BUKAN karena gaya hidup kami yang boros, juga BUKAN akibat ortu salah mengelola keuangan keluarga. Tapi memang tingkat kebutuhan sehari-hari kami termasuk dalam kategori: BESAR PASAK daripada Tiang. Orang tua saya adalah petani gurem yang memiliki 9 anak yang semuanya HARUS bisa disekolahkan dan dinafkahi. Sehingga fixed cost setiap bulan melebihi pendapatan yang bisa dibawa pulang oleh Bapak. Maka tak ayal memenuhi kebutuhan yang sifatnya primer saja, harus menggali daya kreatifitas untuk bisa mendekati garis kestabilan ekonomi. Berbagai ikhtiar dan strategi yang dilakukan oleh orang tua kami di kala itu antara lain:
- Mencari sumber penghasilan [alternatif] dengan menjadi buruh tani di saat garapan di sepetak sawah sendiri sudah selesai, mengoptimalkan pekarangan rumah dengan tanaman produktif yang bisa dijual dan ataupun digunakan sendiri sebagai diversifikasi makanan pokok seperti ubi jalar, aneka umbi-umbian, singkong, pisang, kelapa, dsb.
- Menerapkan pola hidup TIRAKAT. Kondisi ekonomi yang berada di bawah garis kelayakan, yang dibutuhkan lebih dari sekedar pola hidup hemat, yakni kami semua harus bisa hidup tirakat: makan ala ada nasi dan sayur, beli baju hanya ketika kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk dijahit, perlengkapan sekolah semiminalis mungkin,
- Mengajari anak-anaknya bisa mandiri di usia dini. Tak hanya harus bisa mengurus diri sendiri, tapi kami juga terkondisikan membantu pekerjaan di sawah dan ikut serta menjadi tenaga upahan bila ada pekerjaan dari orang lain yang bisa kami kerjakan seperti menyiangi rumput, menanam jagung, memotong padi, menjemu padi, memetik tembakau, dan sejenisnya yang terbilang bisa dikerjakan sesuai usia dan kemampuan fisik anak-anak.
- Pilihan gali lubang tutup lubang yang memang tak bisa dielakkan, namun demikian orang tua saya berusaha komitmen akan berhutang untuk memenuhi biaya sekolah.
Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang dilakukan serta alternatif yang ditempuh oleh kedua orang tua saya dalam rankan menyikapi kondisi ekonomi sulit tempo dulu. Dan segala daya upaya ang dilakukan terbukti memang bisa memperbaiki situasi ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik, walaupun secara grafik masih kerap naik turun secara dinamis. Namun saya berterima kasih sangat, kenyataan hidup tersebut akhirnya bisa membentuk karakter dan pola pikir kami Bagaimana Menjaga Sistem Keuangan Agar Tetap [mendekati garis] keStabilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H