Satu Persen
Oleh: Sawitry Apriati
Berkali-kali aku coba mengetikkan kata-kata pada keyboard laptopku yang sejak dibeli tidak pernah dibersihkan ini. Aku ulang-ulang, aku baca, kemudian aku hapus lagi. Rasanya malam ini semesta sedang berkonspirasi untuk membuyarkan semua mimpi. Aku sedang butuh inspirasi! Tapi sangat disayangkan, ia tak kunjung datang. Biasanya kata-kata mengalir begitu saja keluar dari ubun-ubun kepala, atau dari sela-sela gendang telinga, atau bahkan keluar dari kerlap-kerlip ujung mata. Insiprasi paling berkualitas adalah ketika duduk di kamar mandi, entah duduk atau jongkok, ketika sedang…yah kau tahulah. Saat itu seolah semua kisah berhamburan, berdesak-desakan meluap-luap dari kepalamu. Hingga prosesi kamar mandi itu ingin segera kau segerakan, lalu kau membuka laptop untuk kau tuangkan. Namun kemudian, tetooot, kau sudah lupa. Begitulah kecenderungannya. Ya, tapi kapasitas otakku tidak sekacang itu juga. Aku tidak begitu mudah lupa, kecuali untuk beberapa hal, misalnya nasihat ibu untuk menurunkan berat badan agar ada pria yang mau denganku. Aku selalu anggap hal itu angin lalu. Kenapa harus bersusah-susah kurus dulu? Bukankan pria baik mencari wanita berkarakter? Ya, itu aku. Mereka harus menerima aku apa adanya. Tapi kecenderungannya, pria baik di dunia ini tinggal 1% saja. Sisanya homoseksual, penjahat, atau pria yang melakukan jihad. Kebanyakan dari mereka tidak lagi butuh karakter. Mereka butuh bibir bergincu, belahan dada tak tertutup baju, atau paha kemana-mana. Ya kalau begitu itu bukan aku. Aku jauh dari idaman 99% lainnya itu. Tapi aku gadis optimis, aku percaya sang 1% masih ada. Kalau penduduk dunia ini 2 miliar dan jumlah pria setengahnya, maka masih ada sekitar 10.000.000 pria baik di dunia. Sepuluh juta! Ya, kalau dikurang-kurangi dengan kriteria usia, mungkin anak-anak dan orang tua lanjut usia berjumlah sekitar 2/3-nya. Jadi, untukku, pria-pria satu persen itu ada lebih dari dua ratus ribu. Dua ratus ribu! Jadi, buat apa aku gelisah, atau menguruskan badan susah-susah. Toh, dari 200.000 kumbang di luar sana akan ada satu dua yang mendekati bunga. Tuhan sudah menciptakan skenario terbaik-Nya, bukan? Yang jadi pertanyaan adalah waktunya kapan.
Kembali pada malam di mana aku benar-benar harus menggoreskan berpuluh-puluh kalimat untuk kujadikan cerita. Aku sungguh-sungguh terlalu mudah terdistraksi. Berkali-kali kututup jendela Microsoft Word untuk kemudian kubuka browser atau aplikasi tweetdeck untuk melihat update apa yang sedang terjadi ketika aku berkutat dengan kata-kata yang tak kunjung menghampiri. Aku membaca satu persatu kicauan teman-temanku pada twitter, lantas aku menyimpulkan bahwa malam itu adalah malam frustasi, malam emosi. Ada sih satu dua yang sedang berbahagia menyambut kemenangan sebuah klub sepak bola yang berhasil membawa pulang lagi piala liga. Tapi, selebihnya atmosfernya nyaris sama. Depresi, menekan, tidak ada keceriaan.
Aku membaca kicauan seorang teman yang kurang lebih berbunyi “Ingin minta dukungan malah dapat air mata”. Sedih sekali. Aku tahu betul masalahnya. Tak lain dan tak bukan, tak jauh-jauh dari masalah pria. Jadi temanku itu besok akan menjalani ujian yang mematikan. Hipotesisku, kekasihnya, yang berkampus di Depok itu, memperkeruh suasana. Aku mengerti kondisi emosional temanku, ia lelah. Ujian perbaikan mematikan itu 1000% menguras perhatiannya, waktunya, jiwa raganya. Nah di saat-saat seperti itu lah manusia butuh dukungan, terutama dari beberapa orang. Apa yang diperoleh temanku sepertinya tidak seperti yang diharapkan.
Dari cerita, aku kurang lebih memahami sifat kekasihnya. Kekasihnya baik, baik sekali bahkan. Pada ulang tahun temanku yang kedelapan belas saja ia datang berkereta-kereta dari Jakarta, sekedar untuk memberikan kejutan. Temanku saat itu berkaca-kaca matanya. Melihat kekasihnya dari Jakarta di tengah minggu dengan bobot kesibukan kuliah yang sama datang menghampiri. Ah, wanita memang punya terlalu banyak celah, terlalu banyak gundah, terlalu mudah luluh. Ya, kekasih temanku itu memang pria yang baik, terlalu baik malah. Kebaikannya itu menjalar hingga kemana-mana. Tidak disimpan pada temanku saja. Tetapi juga ia tebar pada gadis-gadis lainnya di Depok sana. Itulah yang mengesalkan temanku. Buat apa kau jadikan aku pacarmu kalau kau umbar-umbar senyum manjamu pada yang lain juga? Kurang lebih itulah yang dipikirkan temanku. Temanku bercerita masalah ini sudah coba ia bahas berkali-kali. Dengan berbagai cara pula ia coba menyampaikan kalau ia tidak suka. Namun tetap saja, sang pacar hanya menjawab dengan “Emang kenapa sih?” Ia tidak sepenuhnya menyadari bahwa kebaikannya pada gadis-gadis lain membangkitkan kekhawatiran temanku. Gadis-gadis itu berada di sisinya setiap saat, sedang temanku terpisah beratus-ratus kilometer jaraknya. Siapa yang tidak was-was… Siapa yang tidak khawatir… Alhasil, kombinasi antara lelahberpikir dengan khawatir berbuah air mata.
Aku agak bingung mengategorikan kekasih temanku itu dalam golongan mana, sang 1% atau si 99 lainnya? Walaupun dia pacar temanku, tak semudah itu dia masuk golongan minoritas versiku. Kriterianya panjang. Tapi tak bisa kusebutkan satu per satu. Aku sengaja menyimpannya rapat agar pria-pria siapa saja yang mendekat dapat jadi dirinya sendiri tanpa harus dibuat-buat. Dengan begitu aku akan lebih mudah menilai, apakah ia 1% atau 99 lainnya. Untuk kekasih temanku, aku pending saja dulu. Tidak penting juga ia masuk kriteria mana karena ia telah milik lainnya, temanku tercinta.
Masih dengan tweetdeck-ku yang entah kenapa terasa lebih menarik daripada bercerita, aku melihat-lihat kicauan teman lainnya. Aku kadang takjub betapa orang-orang begitu terbuka terhadap permasalahannya. Semuanya mereka umbar-umbar seolah tak akan ada yang curi dengar. Padahal, orang seluruh dunia berpotensi untuk melihatnya. Tapi, generasi zaman sekarang seolah tidak peduli. Ah, persetan kata orang. Yang penting aku menulis isi hati! Pernah suatu ketika aku membaca kicauan seseorang yang dikicaukan lagi oleh seseorang dan orang lain dalam timeline twitter-ku atau bahasa sekarangnya adalah di-retweet. Kurang lebih isi kicauannya adalah “semakin marah aku semakin ingin memilikinya... aaarggghhh”. Itu salah satu, ya salah satu, dari sekian banyak contoh ekstrim lainnya. Kadang aku heran saja. Apakah harga diri sudah tidak penting saat ini? Bagaimana kalau orang yang dimaksud membacanya –dan kemungkinan besar memang begitu—aku rasa memang salah satu tujuannya adalah menyampaikan pada orang yang dituju, biar seluruh dunia tahu. Sayang, aku bukan perempuan model begitu. Sebisa mungkin hal itu aku tutup-tutupi. Bahaya sekali kalau sampai orang-orang tahu. Cukup sudah, akan habis masa depanku. Agak berlebihan sih, tapi begitulah kira-kira.
Kembali pada malam di mana aku harus menuliskan berangkai-rangkai kata untuk kujadikan cerita. Kenapa begitu sulit ya mengisahkan. Aku coba menulis kisah tentang seorang gadis bernama Melia, dan itu pun akhirnya tak rampung jua. Aku mulai kesal. Aku mulai mencari-cari isi kepala, kali saja kutemukan satu dua kata pembuka. Tapi nihil, satu kepala kutelusuri, yang kudapat hanya kata kamu.
Kamu, bagiku, masuk dalam golongan 1% itu, golongan 200.000 dari seluruh penduduk dunia. Kamu tidak begitu tampan, tapi punya senyum menawan. Tidak begitu lucu, tapi kadang sangat lugu. Tidak begitu berkata, tapi tenang kalau bicara. Tidak begitu atletis, tapi cukup tinggi juga. Tidak begitu peduli, tapi kadang suka bertanya. Kamu terlalu banyak ‘tidak begitu’-nya, kamu terlalu manusia. Kamu bukan tipe yang digila-gila wanita. Oleh karena itu, aku merasa nyaman-nyaman saja, tidak punya saingan. Kamu sungguh terlalu banyak celah. Terlalu mengundang banyak tanya. Terlalu bikin gelisah. Terlalu apa adanya. Aku tidak ingat sejak kapan orientasi pikiranku menjadi kamu –selain masalah keuangan, keluarga, dan soal-soal kuliah itu—tapi begitulah adanya. Yang aku ingat adalah mulai dari tingkat pertama, aku mengenalmu dari orientasi fakultas. Kamu standar, seperti laki-laki kebanyakan. Kamu tidak terlalu bergaya, sekedar pria dengan kaos kebesaran dan celana jeans jarang ganti. Tapi senyum itu, rasanya sudah jadi aksesorismu, sudah jadi bawaan lahir. Senyum menawan yang tidak dimiliki yang lain. Sungguh senyum pengalih perhatian. Maka pada awal-awal perkenalan, aku menjulukimu ‘senyum’.
Usia kita terpaut sebelas bulan, angka kesukaan kita delapan. Aku satu bulan lebih awal darimu, kau satu tahun lebih awal dariku. Ya, begitulah. Aku ingat pada suatu tanggal delapan saat kita tingkat satu, tepat saat ulang tahunmu. Saat itu kampus kita sedang mengadakan hajatan besar tentang kebudayaan. Aku menjadi salah satu panitia, sedang engkau sedang mengerjakan proyek fisika. Pada sela-sela bebas kerja, aku menghampirimu dengan sengaja –dan pastinya kau tidak pernah menyadari.
“Eh, selamat ulang tahun ya!” ujarku sambil menyodorkan tangan.
“Makasih ya,” jawabnya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak dan menebarkan senyum maha karya. Aku mati rasa dalam beberapa detik, mencoba stabil dan memijak bumi lagi.
“Nih,” seruku sambil memberikannya brosur.
“Apaan nih?”
“Hmmm gue panitia screening movie, ini brosur film yang bakalan diputerin nanti. Liat-liat aja dulu”
“Oh, oke,”
“Lo ngerjain tugas ya? Ngga ke stand makanan? Makanannya enak-enak loh, dari seluruh penjuru Indonesia. Gue aja tadi udah habis 30.000 Cuma buat icip-icip dari ujung ke ujung doing.”
“Haha, ngga takut tambah gemuk?”
Jleb. Aku terdiam.
“Hehe, Cuma becanda kok gue. Maaf ya… Nanti aja deh, nyelesaiin ini dulu,” tambahnya segera.
“Oh oke, gue…ke dalem dulu ya,” seruku buru-buru.
Jengkelku tertimbun-timbun senang. Seingatku, itulah kali pertama aku berbicara agak lama dengan kamu. Sebelumnya hanya sekedar basa-basi saja. Saat itu aku masih ingat sensasinya, antara ingin loncat-loncat berjingkrak dan senyum-senyum penuh arti. Ah, senyummu… Tadi kau lemparkan padaku… Begitulah yang ada di otakku hingga keesokan hari.
Selanjut-selanjutnya, aku dan kamu mengalir saja, terlalu biasa-biasa, terlalu berteman. Bertegur sapa saat bertemu, mengobrol tentang ini itu. Pertemanan kita bukan tipe yang saling mengucapkan selamat malam atau saling berkirim pesan singkat “kamu sedang apa?” Pertemanan kita jauh dari itu, sungguh biasa. Namun dengan begitu, sangat mudah untuk menyimpan rahasia. Hanya aku, Tuhan, dan ‘ring satu’-ku yang tahu tentang kamu. Sepertinya aku makin beriman dan dekat dengan Tuhan karena Ia dengan mudah menciptakan sebuah senyum yang menawan.
Otakku yang juga sama sekali tidak membantu untuk membuat cerita ini sampai pada suatu memori. Suatu malam, ulang tahunku, sebelas bulan kemudian dari saat kau menjadi sembilan belas duluan. Malam itu aku jadi pembawa acara sedangkan kau jadi salah satu panitia. Itu mengharuskan kita sering berada di samping panggung. Saat itu, sepertinya semua orang tahu aku berulang tahun, termasuk kamu. Kamu pun sudah mengucapkan selamat pada siangnya dengan cara yang luar biasa biasa. Aku sedang berada di himpunan dengan semua orang menyelamatiku ulang tahun, lalu kamu baru datang dengan seorang teman yang juga langsung menyelamatiku ketika ia melihatku. Kamu pun ikut, sekedar menyodorkan tangan tanpa berkata-kata, kemudian pergi lagi. Sesingkat itu, sesederhana itu, gitu doang.
Malamnya, dalam suatu ketika kita berdiri bersampingan di samping panggung, kamu tiba-tiba berbicara “Jadi tanggal ulang tahun kita sama ya….”
“Iya, tapi kan beda tahun. Lo lebih tua.”
“Ih engga, tapi kan bulannya duluan elo.”
“Ya tapi kan beda tahun, yeee…”
Sungguh saat itu, aku langsung berkicau pada akun twitteri-ku “Hal yang baru lo sadari hari ini udah gue sadari dari setahun lalu.” Dan hanya sebatas itu, hanya sebatas tulisan, itu pun berupa sebuah kicauan pada akun jejaring sosial. Biarlah, jangan sampai ada yang tahu.
Hingga malam ini, pikiranku melayang-layang pada kisah lain lagi, namun berkutat padamu kembali. Kali ini terjadi baru, beberapa hari sebelum dua puluh tahunmu.
“Cie sebentar lagi ulang tahun. Lo tanggal delapan kan?” tanyaku berpura-pura.
“Haha iya…,” sambil melempar senyum menawannya.
“Traktir-traktir ya!”
“Enak aja. Gue ditraktir orang rumah nanti,”
“Oh, lo pulang ke Jakarta?”
“Ya. Eh, lo juga tanggal delapan kan?”
“Iya. Tanggal delapan kan keren, angka favorit gue.”
“Gue juga!” kali ini benar. Dari dulu aku merasa punya ikatan khusus dengan angka delapan. Angka favorit, angka keberuntungan, bisa dibilang begitu.
Kemudian kami mulai mengait-kaitkan diri kami dengan angka delapan. Seperti anak kecil, tapi menyenangkan. Kadang kau melempar senyum, kadang aku menjemputnya, kadang aku memancingnya…. Selalu begitu. Dari bertahun lalu, hingga kini hal itulah yang terjadi.
Aku terlalu bungkam, aku terlalu pemerhati. Kamu terlalu diam, kamu terlalu tak peduli. Entah sampai kapan pertemanan kita akan selalu biasa. Kita akan tetap bertegur sapa saat bertatap muka. Aku tidak tahu, pula tidak bisa membayangkan kelak akan seperti apa. Begini-begini saja atau…. Yang pasti, aku tidak akan pernah berbicara. Akan akan menjaga tetap seperti ini. Seperti kataku, aku perempuan junjung harga diri. Aku hanya bisa mengamati, mencocok-cocokan kategori, menulis puisi, atau apapun dalam sepi. Hingga malam berganti pagi, hanya ini yang tercipta:
Kamu terlalu cemara untuk jadi bunga,
Kaku. Terlalu megah berdiri pada bukit padang randu.
Kamu terlalu samudera untuk jadi buih.
Sederhana. Terlalu makna pada tiap untai kata.
Kamu terlalu jernih untuk jadi putih.
Tiada. Terlalu kasat hingga pada bilik sesat.
Kamu terlalu bumi untuk jadi mentari.
Senyum. Terlalu curi pada tiap peluk hari.
Tetaplah menjadi pria biasa-biasa, jangan terlalu menonjol, jangan terlalu istimewa. Biar senyum maha karya itu, menjadi milikku saja. Dan pastinya, sejauh ini, kamu satu, dari 1% itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H