Emang kenapa kalo nantinya saya bener-bener bakal milih yang nomor 1? Apa itu berarti saya confirmed termasuk golongan rakyat yang bodoh dan sesat, gitu?? Hehe.. Soalnya beberapa status teman di blackberry contact saya rajin banget secara berkala menyatakan bahwa pemilih pintar hanya kalo pilih presiden yang nomor urutnya 2, bukan yang lain. Hahaha..
Padahal sampai beberapa hari kemarin, di kolom status di blackberry saya, ada tulisan yang sudah sekitar 2 mingguan lebih nggak saya hapus-hapus. Isinya : “Jokowi for DKI 1 (lengkap dengan gambar icon senyum manis dengan mata love-love, juga icon pake kacamata hitam).
Malah pernah beberapa kali saya iseng pasang profile picture angka 1 gede-gede (belom pernah pasang foto om Bowo sih, takut silau sendiri. Kegantengan soalnya..) ditambah bikin personal massage, misalnya : “Jokowi for RI 1 (2019-2024)” atau “Kasian pak Ahok nggak ada liburnya. Semoga pak Jokowi segera bergabung kembali..” hihi..
Ternyata tulisan-tulisan seperti itu cukup “menggemaskan” kali ya untuk para pendukung kubu nomor 2. Sehingga (mungkin) dengan maksud membantu “menyadarkan” teman-temannya yang belum setuju untuk memilih capres yang sama, beberapa orang melancarkan serangan yang “mendidik” saya supaya lebih sadar sejarah (tentang masa lalu kelam capres no 1 dong tentunya, dalam hal pelanggaran HAM, tentang keterikatannya dengan Keluarga Cendana dan Orde Baru, termasuk mengenai model kepribadiannya yang cenderung beda seperti bumi dan langit dari pak Jokowi).
Ya nggak papa juga sih. Monggo aja, silakan. Meskipun menurut penilaian saya pribadi, mengulang-ulang isu yang sama kayak begitu termasuk kategori tindakan basi dan nggak terlalu pintar juga (upss.. maap, jadi ikutan gaya ngatain orang). Lha tapi kan soalnya hal-hal kayak gitu sudah saya ketahui dari dulu. Dan kalo sampe detik ini saya masih belum mau perpaling ke lain hati, kepikir nggak sih, kalo itu artinya karena saya memang punya pertimbangan lain aja?!
Saya tuh penggemar Jokowi. Saking ngefans-nya, saya sampe belum rela berbagi dengan provinsi lain di Indonesia.
Sebagai rakyat jelata di belantara Ibukota yang sumpek, padet, macet, kumuh, sering kebanjiran, sampah dimana-mana, aspalnya bolong-bolong, yang jalan raya sama pasar suka susah dibedainnya (karena sama-sama uyel-uyelan banyak yang belanja dan jualan), saya lumayan sedih dan kecewa saat harus menerima kenyataan bahwa pak gubernur yang sudah saya pilih (belum sampe 2 tahun lalu itu!) kok bisa tega-teganya “menelantarkan” amanah saya dan banyak warga DKI lain yang sudah memilihnya (dengan segudang harapan) sebagai pemimpin tertinggi yang akan fokus membenahi Jakarta. “Menghibahkan” begitu saja rakyatnya untuk cukup dipimpin oleh pak Ahok. Sedangkan sebenarnya dulu saya memberikan suara untuk beliau, bukan wakilnya…
Seandainya masa jabatan beliau sudah mendekati 5 tahun, mungkin lebih mudah bagi saya untuk “memaafkan”. Karena pasti banyak program-program yang didulu dijanjikan sudah sempat terlaksana dan hasil karyanya sudah akan mulai kelihatan nyata. Tapi ini kan kenyataannya belum?? Jakarta tempat saya berdomisili sejak lahir sampai hari ini rasanya masih begitu-begitu aja, belum banyak berubah.
Suka bertanya-tanya sendiri dalam hati: kira-kira pak Jokowi punya perasaan bersalah nggak ya karena lebih memilih nyapres, mengejar posisi yang lebih tinggi lagi, apapun alasannya (penugasan ketum partainyalah, konon ada aspirasi rakyat yang besarlah, atau apalah yang lainnya diluar hasrat pribadinya sendiri juga)? Emang sih, bisa aja kalo mau pake pembenaran ala beberapa orang teman saya yang lain : “bagus dong kalo Jokowi maju jadi presiden, berarti kan otoritasnya malah lebih besar, bukan lagi sekedar Jakarta doang.. Indonesia malah tambah maju!” Heloooo…
Apa iya kesannya terlalu cengeng dan sentimental kalo saya mempermasalahkan loyalitas seorang pemimpin pada amanah yang diembannya? Yasudahlah kalo dianggap begitu. Maap. Pastinya ilmu saya memang kurang, jadi nggak bisa protes kebanyakan, nggak pegang dalilnya. Cuma kalo udah masuk soal rasa, ya apa boleh buat, semua orang sama-sama berhak masing-masing dong. Kenyataannya setiap orang ternyata memang punya standart value yang berbeda-beda ya.
Tapi bagi saya, satu suara ini akan saya sumbangkan untuk pemimpin yang (menurut saya) sanggup bersikap tegas, nggak hobby menelantarkan amanah pemilihnya tanpa merasa bersalah. Eh, baydewei ada nggak ya yang begitu??
Kalo nggak ada, yaudah.. berarti terpaksa saya (mungkin) akan voted buat nomor 1 aja. Mengingat saya masih terlalu penasaran dengan janji-janji pak Jokowi sebagai pemimpin Jakarta waktu itu. And jangan khawatir pak, nanti pas udah nggak cuti lagi sebagai Gubernur DKI saya mah nggak bakal dendam dan mempermasahkan udah pernah mau ditinggalin. Saya tetep akan cinta dengan kepemimpinan bapak kok. Eh, wait, tapi masalahnya si pak Jokowi sendiri masih cinta juga nggak ya sama rakyat Jakarta? Lha sekarang aja udah ditinggalin masa bodo begini…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H