1994
“Masuk, Lika! Cepat masuk!”
Usai menarik kasar lengan anaknya, sang ibu mulai mendorong. Gerakannya kasar, terburu-buru. Sebuah celah kecil yang tersisa di samping lemari kayu di bawah tangga lantai dua menjadi tempat sang ibu menjejali tubuh anaknya. Ukuran lubang yang sempit membuat kepala gadis lima tahun itu sempat terantuk dinding agak keras. Tapi sang ibu tidak peduli, malah semakin kalap. Begitu dilihat tubuh anaknya sudah mulai tertelan rongga gelap, disambarnya beberapa lembar pakaian kotor yang tergeletak di lantai untuk menutupi celah tersebut.
“Mami! Mami!”
“Diam, Lika! Diam!” suaranya garang.
“Mami! Tapi Alika takut, Mami… Alika sakit!” gadis kecil itu memprotes, merengek.
“Tahan!” jerit sang ibu bertambah panik. “Diam, Lika! Diam disitu sampai Mami menjemputmu nanti!”
Tak ada kata-kata membujuk, tidak ada waktu. Sementara di lantai bawah - lantai satu rumah mereka - pintu depan sudah keburu dibuka dengan kasar dan daun pintunya dihempaskan kembali sangat keras, membuat seluruh dinding bergetar karena dentumannya.
Lalu terdengar langkah kaki seseorang berlari menaiki anak tangga.
Hanya beberapa detik saja selisih waktunya.
“Kamu!” Hardikan kasar seorang laki-laki disambut rintih ketakutan perempuan di hadapannya. Kemudian sumpah serapah laki-laki tersebut tumpah, disusul suara tamparan yang mungkin dilakukan sekuat tenaga. Satu kali, dua kali, tiga kali. Kemudian gemuruh seperti sebuah benda berat jatuh terbanting-banting melalui anak tangga.