RAYA & VITO
“Saya memang jauh dari sempurna. Bahkan tidak akan pernah mampu mendekati sempurna. Tapi saya sangat menyayangi kalian: mbak dan Akbar. Bukan salah saya kalau saya lahir 14 tahun lebih lambat dari mbak, kan?” Anak muda dihadapan Raya menatap matanya lekat. Meski pelan, suaranya terdengar tegas, bernada sedikit menggugat. “Beri saya kesempatan, mbak. Akan saya buktikan.”
Raya mengeluh dalam hati. ‘Anak kemarin sore’ di hadapannya ini ia akui memang sedikit ‘berbeda’. Tapi tetap saja, jarak usia belasan tahun bukan hal yang lazim dalam sebuah hubungan percintaan serius, kalau sang perempuan adalah pihak yang lebih tua. Apa kata seluruh dunia nanti?
“Padahal kita sudah membahas ini berkali-kali, Vito…” dihindarinya pemuda itu dengan sedikit menambah jarak pada posisi duduk mereka.
“…tapi mbak sendiri yang dulu bilang, usia seharusnya bukan jadi penghalang untuk sebuah niat baik!” Belum sempat Raya meneruskan, pemuda itu sudah memotong kalimatnya. “Niat saya terhadap mbak dan Akbar sangat baik. Jangan pedulikan usia saya. In syaa Allah saya sudah siap mengambil tanggungjawab yang sangat besar sekalipun.”
Meski tersanjung, Raya disesaki perasaan ragu. Entah apa isi kepala anak muda ini. Bukannya mau meremehkan, tapi memang ia tau apa tentang pernikahan? Jangan-jangan hanya untuk sekedar mengenali perbedaan antara cinta dan nafsu saja Vito belum mampu. Sadarkah kalau ia sedang berhadapan dengan perempuan berusia 40 tahun, berstatus janda, ibu dari seorang pemuda cilik berumur 10 tahun?
RAYA & WINA
“Kalau aku coba bantu menganalisa, sepertinya Vito memang murni jatuh cinta padamu, Ray, bukan karena punya motif-motif terselubung yang aneh-aneh,” Wina mencoba memberi masukkan pada sahabatnya. “Kalau dipikir-pikir, apa sih kurangnya dia? Masih muda, lumayan ganteng, masa depan karirnya juga cukup menjanjikan. Pintar dan berpotensi sukses pula. Bukan dari latar belakang broken home juga kan? Hubungan dia dengan ibunya yang aku tahu cukup baik dan harmonis, sepertinya secara kejiwaan dia normal-normal aja…”