Mohon tunggu...
Junior Tralalaaa Trililiiii
Junior Tralalaaa Trililiiii Mohon Tunggu... lainnya -

nggak suka kodok. terlalu mirip sama ikon yang agli ituhhh...(nunjuk monster biru yg picek atas)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengunjungi Sebira, “Pulau Bugis” di Kepulauan Seribu

28 September 2014   20:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:11 2761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari seminggu lalu, sebuah kesempatan mengantarkan saya untuk mengunjungi Pulau Sebira (atau Sabira), sebuah pulau kecil yang terletak paling luar pada gugusan Kepulauan Seribu. Meskipun masih termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, tapi tempat ini katanya malah lebih dekat dengan Provinsi Lampung, dibandingkan dengan daratan Jakarta.

Terus terang perjalanan kali ini bukan merupakan acara jalan-jalan murni sih. Tapi karena saya diundang untuk mengikuti kunjungan kerja rombongan pak bupati yang biasa secara rutin mengunjungi warganya di berbagai pulau secara bergantian. Kebetulan kali ini giliran Pulau Sebira

Hari Kamis pagi (tanggal 18 September 2014) kami berkumpul di Dermaga 6 Marina Taman Impian Jaya Ancol untuk siap-siap berangkat dengan kapal cepat (lupa namanya). Karena berangkat saat musim angin kencang, perjalanan laut kali ini seperti sebuah “uji nyali” bagi saya. Awalnya pelayaran dengan kapal kecil berkapasitas sekitar 35-an orang itu berlangsung mulus dan mengasyikkan, soalnya cuaca cukup bersahabat. Tapi begitu menjelang mendekati tujuan,  tiba-tiba angin mulai berhembus kencang, membuat kapal yang kami tumpangi seperti meloncat-loncat ditengah lautan. Lumayan horor, karena kru kapal sampai menyuruh penumpangnya untuk  memegang pelampung masing-masing...

 

Ombak yang tinggi kelihatan sangat jelas dari jendela, seolah seperti sedang berusaha keras menelan badan kapal (ciee drama, haha). Karena terbanting-banting di permukaan air, kami yang ada didalam kapal malah jadi pada bercandaan (kayaknya sih buat mengkamuflase ketakutan deh) : “kok jadi berasa kayak lagi naik mobil lewat jalanan rusak yaaakk..” hehe..  Tapi alhamdulillah, akhirnya semua berjalan lancar, dan setelah 3 jam mengarungi lautan lepas, kamipun tiba di tujuan.

1411882785773177255
1411882785773177255

14118828122131079851
14118828122131079851

Welcome to Sebira, (masih) DKI Jekarthaaaahh...  Begitu turun dari kapan, yang terasa pertama kali adalah sensasi seperti berada di luar kota yang jauuuhh banget. Mungkin karena untuk mencapainya saya memang harus menyeberangi lautan dulu kali ya. Padahal sebenernya ini kan masih termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wah, tapi menarik juga rasanya bisa menikmati sisi lain dari Ibukota.

Pulau Sebira terhitung kecil (sekitar 9,5 hektar) dan berpenghuni cukup padat (kurang lebih 500 an jiwa). Penampilannya mirip-mirip beberapa perkampungan di Jakarta, cuma yang ini unik karena dikepung lautan. Kalau di Jakarta ada beberapa tempat yang namanya “Kampung Bugis” (karena banyak dihuni warga bersuku Bugis), maka Pulau Sebira ini kayaknya cocok kalau disebut sebagai “Pulau Bugis.” Ya karena memang sekitar 90 persen-an penduduknya bersuku Bugis asal Bone, Sulawesi Selatan. 

14118829232142323413
14118829232142323413

1411882948564100860
1411882948564100860

Menurut cerita, awalnya pada sekitar tahun 1974 pulau ini masih berupa hutan tidak berpenghuni (kecuali oleh petugas yang menjaga mercusuar, karena di Pulau Sebira ada mercusuar ex peninggalan Belanda), tapi ketika itu sudah sering didatangi warga Pulau Genteng untuk menangkap ikan. Melihat potensi ikan yang besar, akhirnya seorang nelayan dari Pulau Genteng (bernama Joharmansyah) minta diijinkan untuk bermukim. Awalnya belum diperbolehkan, tapi setelah melalui proses panjang mulai mendapat ijin juga. Kebetulan di tahun 1975 ada desakan supaya penduduk yang mendiami Pulau Genteng pindah bermukim ke tempat lain. Sempat mendapat tawaran dipindah ke Pulau Pamagaran, tapi warga menolak karena dianggap tidak banyak ikan diperairannya. Singkatnya lalu warga jadi terbagi 2, sebagian pindah ke Pulau Sebira, sebagiannya lagi ke Pulau Kelapa Dua. Dari awalnya hanya berjumlah kurang lebih 20 KK ditahun 1975, sekarang berkembang menjadi banyaksss.

Bapak Joharmansyah yang menjadi pelopor, saat ini sudah meninggal (2 tahun lalu), tapi isterinya, ibu Hj. Hertuti masih sehat dan menjadi pemuka masyarakat dengan kedudukan paling tinggi, sebagai ibu RW). Mungkin karena orang Bugis memang terkenal sebagai pelaut ulung kali ya, jadi dulu-dulunya dari Sulawesi nun jauh banget disana kok bisa sampai pindah bermukim ke wilayah Kepulauan Seribu.

14118830541795229792
14118830541795229792

14118830821777529782
14118830821777529782

Nyambung cerita perjalanan saya, begitu mendarat dari laut, rombongan beristirahat sebentar dirumah ibu RW tersebut. Disambut suguhan “barongko” dingin yang segar plus teh manis hangat, stamina seluruh anggota rombongan pun langsung pulih setelah sebelumnya sempat drop gara-gara di-shake lautan. Lalu tanpa menunggu waktu lama, saya bersama beberapa orang temanpun kemudian segera “meluruskan kaki” dan menjelajahi pulau.

Destinasi pertama kami adalah mercusuar. Dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1869, mercusuar yang sekarang disebut sebagai “Menara Suar Jaga Utara” ini tingginya sekitar 50 meter, ditunggu oleh oleh 2 orang petugas (petugas resminya namanya pak Joko, dan satu lagi adalah “pendamping”-nya namanya pak Langgeng). Ngobrol kesana kemari, sayangnya pak Joko tetap nggak bersedia menceritakan kisah para “penghuni” (tuan dan nyonya Belanda) yang konon menjaga di setiap lantai tower menara, padahal udah dipancing berkali-kali untuk cerita. Ah, nggak seru banget deh.  Aniwey sayangnya kondisi mercusuar ini cukup memprihatinkan, secara kasat mata kelihatan dipenuhi karat dan keropos disana-sini. Nggak tau kengapa, aset fungsional ini belum tersentuh peremajaan.

1411883130186060461
1411883130186060461

1411883165223584729
1411883165223584729

141188319534026086
141188319534026086

14118834691918727587
14118834691918727587

Selanjutnya kami mengitari sebagian sisi pulau. Dari belakang kompleks mercusuar milik Kementrian Perhubungan Laut, kelihatan pemandangan laut lepas. Diluar kompkes juga ada sebuah masjid cukup besar, namanya Nurul Bahri yang sering dijadikan tempat berkumpul warga dalam banyak kesempatan. Puskesmas ada (tapi kayaknya belum ada dokter yang selalu standby, bidan ada 2 orang. Sekolahan SD dan SMP terpadu juga ada. Lumayan lengkap sih fasilitas sosialnya. Perekonomian masyarakatnya juga konon (relatif) cukup sejahtera. Di Jakarta daratan aja saya malah pernah liat daerah yang kondisinya jauh lebih parah kemana-mana dari pulau ini.

Terus juga ada dermaga apung yang terlihat menarik karena berwarna biru-kuning, serta sedikit pantai berpasir putih. Meskipun belum termasuk dalam daftar pulau tujuan wisata di Kepulauan Seribu, tapi menurut saya tempat ini cukup mengesankan sih.

14118835311172120965
14118835311172120965

14118835561769035168
14118835561769035168

Yang menjadi ciri khas menonjol Pulau Sebira adalah produk unggulan warganya berupa ikan asin selar. Produk olahan penduduk disini konon termasuk ini nomor wahid, karena dibuat langsung menggunakan ikan segar hasil tangkapan nelayan. Dan sama sekali nggak ditambahkan zat-zat berbahaya seperti banyak dilakukan oknum pembuat ikan asin lain di sekitar daratan Jakarta, yang suka menggunakan bahan baku ikan rusak, lalu mengawetkan dengan formalin dan dikasih pemutih berbahaya.  Oemjii.

14118836141359367676
14118836141359367676

14118836591337982328
14118836591337982328

Katanya ikan selar memang lebih menguntungkan kalo dijual sebagai ikan asin dibandingkan segar, karenanya warga lebih suka mengolah tangkapan mereka dulu sebelum melempar ke pasar melalui pelabuhan Muara Angke di Jakarta Utara.

Sayangnya waktu saya berkunjung lagi nggak ada kegiatan pengolahan ikan asin, karena saat itu sedang musim angin kencang dan melayan nggak melaut. Saat diluar musim ikan selar, nelayan biasanya lebih suka menjual tangkapannya langsung sebagai ikan segar tanpa mengolah menjadi ikan asin.

Namanya juga saya diundang untuk ikut, ya tentu saya jadi punya kesempatan untuk melihat beberapa program kerja Pemerintah Kabupaten yang mereka siapkan untuk memajukan pulau ini dong. Selain sosialisasi program BPJS, ada juga rencana menata lingkungan pemukiman warga, menanam banyak bibit pohon disekitar dermaga dan bibir pantai dan memperbaiki sarana pengeringan ikan asin (yang terlihat memenuhi hampir setiap lahan kosong di pulau ini) supaya nantinya nggak kelihatan kumuh lagi. Sepertinya lumayan serius nih mau menjadikan tempat ini sebagai tambahan destinasi wisata di wilayah Kepulauan Seribu. Disiapkan sejak dini supaya kelihatan rapih dan cantik untuk menerima kunjungan wisatawan nantinya. Hmmm, menarik juga...

Sebenernya kami sudah disiapkan tempat menginap dirumah-rumah penduk, tapi karena siangnya sudah kenalan dengan pak Joko dan diijinkan numpang disalah satu rumah dinas kompleks mercusuar (ada 5 rumah dinas dengan kondisi oke, tapi 3 diantaranya kosong), akhirnya malam itu saya dan 2 orang teman perempuan bobo di sebuah rumah yang lapang, nggak perlu uyel-uyelan seperti anggota rombongan lain, asiikk..

141188372348806289
141188372348806289

Malamnya sebelum tidur, kami beberapa orang masih sempat ber-ikan bakar-ria dihalaman kompleks. Sambil santai, beberapa pertanyaan uneg-uneg berkaitan program kerja pemkab dengan sok taunya sempat saya lontarkan ke salah seorang bapak pejabat daerah yang kelihatan humble dan baik hati, eh tapi malah mendapat jawaban cukup memuaskan. Keren juga.  

14118838071763448311
14118838071763448311

Yasudlah, akhirnya malam itu sayapun tidur dengan perasaan sedikit takjub. Terkaget-kaget dengan nyamannya suasana perjalan ini (soalnya biasanya saya memang rada “alergi” aja sama lingkungan para PNS, hehe... maaapp... Karena kirain tuh mereka gimana-gimana gitu. Eh, tapi ternyata enggak juga kok. Semuanya ternyata ya gitu-gitu aja. Hihi..).

Besoknya, hari Jumat pagi, setelah sarapan dan mengikuti beberapa acara sermonial, rombongan pun bersiap-siap kembali menempuh perjalanan laut yang “seru”. Dan bener aja, diperjalanan pulang ini angin kencangnya malah lebih lama dari sebelumnya. (Baydewei, terbukti secara meyakinkan, naik kapal kecil yang ngebut ditengah ombak tinggi itu ternyata efektif loh untuk membuat ebagian besar orang bawaannya jadi pengen berdoa terus).  Cukup dua setengah jam waktu tempuh kali ini, dan kamipun tiba dengan selamat di dermaga Marina Ancol.

Alhamdulillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun