Pemilihan Umum merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara yang melaksanakan sistem demokrasi, namun ironisnya justru menjadi ajang perebutan kekuasaan yang dilembagakan yangmembentuk representasi politik danlebih terkesan penyerahan mandat yang bersifat transaktif dan banyakdipengaruhi oleh uang.
Korupsi Pemilu didefinisikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan peserta pemilu dan pihak lain yang memberikan, menjanjikan imbalan berupa uang , barang , jasa, jabatan dan keuntungan lainnya secara langsung maupun tidak langsung , kepada pemilih, penyelenggara, pengawas, dan instansi lain yang terkait dengan pemilu yang bertujuan mempengaruhi pilihan dan atau proses pemilu sehingga menguntungkan peserta pemilu atau kelompok tertentu. Di Indonesia korupsi sudah membudaya bagi kaum yang serakah akan kekayaan semata sehingga menyebabkan dampak kemiskinan di mana-mana terhadap rakyat yang berekonomi kecil dalam hal ekonomi.
Pola korupsi dalam pemilu sangat bergantung pada sistem pemilu. Terdapat empat modus korupsi dalam pemilu:
1. Beli suara (vote buying ), dimana partai politik atau kandidat membeli suara pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan ataupun keuntungan finansial lainnya.
2. Beli kursi (candidacy buying ), dimana orang ataupun kelompok kepentingan mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan dalam pemilu.
3. Manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu (electoral administrative corruption)
4. Dana kampanye yang ‘mengikat’ (abusive donation) menjadikan sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.(Bawaslu)
Korupsi terbentuk dan menguat akibat kuatnya keleluasan kewenangan dan monopoli atas kebijakan. Sementara di sisi yang lain akuntabilitas publik justru sangat lemah. Pemerintahan negara kita selama ini dijabat oleh orang-orang yang diajukan oleh partai-partai politik melalui pemilu yang berasal dari birokrat, pengusaha, dan kerabat-kerabatnya. Untuk mendirikan partai dan mengikuti Undang-Undang Pemilu sekarang ini, diperlukan biaya yang sangat besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya orang borjuis dan kroninya yang mampu mendirikan partai, mengikuti pemilu, dan menjadi pejabat negara yang memerintah negeri ini. Sungguh ironi. Jika kita mau bersikukuh bersikap golput, kita hanya memberikan bentuk pembangkangan terhadap tatanan dan nilai yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H