Aku mengering terpapar oleh ketiadaan. Degupku yang paling gesah bukan makna puisi yang percuma. Diamku yang paling dalam bentuk kewarasan kepada sesuatu yang belum tentu ada. Dongeng tentang pengembaraan menjadi narasi pengantar lelap untuk melayangkan mimpi yang mungkin nyata.
Entah di waktu yang mana akan tiba benar rasa berpikir. Terus saja berjalan di sorai kesunyian, menyelusuri jalan dalam diam. Entah di kekekalan yang mana akan terucap kata berhati.
Malam memang rimba keraguan, di dalamnya masih sanggup aku berlari mendaki bukit-bukit jemu. Kepadanya kupahat pada pohon, kata-kata yang bersembunyi mengelak cahaya. Agar suatu ketika aku menjadi anekdot ketiadaan yang lain.
Seorang sahabat menyadarkanku betapa pahit kopi yang kuteguk---indraku terlalu lelah untuk merasai rasa, terlalu sungkan meyakinkan sesuatu yang belum ditemui berarti tiada. Inilah surat pertama yang aku tulis di perut waktu: satu-satunya yang kuyakini pasti ada. Bersamaan kurenungi indah yang kuselami dari sepasang hitam bola mata yang terbias di hitam kopi di punggung waktu.
Jogja, Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H