Mohon tunggu...
preciouscygnet
preciouscygnet Mohon Tunggu... -

a paradox reader

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Uang dan Ketergantungan

2 Maret 2011   03:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudah lama sejak menulis note yang diberi judul self-sufficient, aku ingin melanjutkannya dengan tulisan mengenai ketergantungan seseorang pada sesamanya. Namun tertunda berkali-kali hingga suatu hari kubaca pernyataan seorang kawan bahwa orang yang paling banyak memiliki uang adalah orang yang hidupnya paling bergantung pada orang lain.

Tesis yang menarik kurasa. Selama ini banyak orang berpandangan uang adalah lambang kekuasaan—dan memang begitu adanya—, dengan uang banyak hal bisa didapatkan dengan mudah. Bahkan beberapa kali hukum pun bisa dibeli.Nah, dengan pernyataan ini kekuasaan tadi dijalin erat dengan keadaan lain: ketergantungan. Sementara ketergantungan merupakan keadaan yang memiliki makna hampir bertolak belakang dengan kekuasaan. Bagaimana bisa sesuatu dengan kuasa besar juga mengondisikan ketergantungan besar?

Sebetulnya tidak mengherankan juga, sih. Uang sebagaimana yang kita kenal adalah alat tukar. Alat tukar yang disepakati manusia untuk mempermudah berbagai transaksi dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Artinya uang tidak lahir dari individu namun massa. Sejak kelahirannya, uang sudah memastikan faktor eksternal. Bergunakah semua uang yang dimiliki, seberapa banyakpun, jika manusia hidup sendirian? Tak ada yang menjual makanan padanya, tak ada penjahit, pengemudi, dan lain-lain? Hanya tumpukan kertas. Ia butuh makan, ia butuh pakaian, ia membutuhkan air, jika tumpukan kertas tadi tak dapat membuatnya mendapatkan semua itu—karena tak ada orang yang bersedia menukar barang-barang kebutuhannya dengan kertas tersebut, atau karena memang tak ada seorangpun di sana—maka apa gunanya?

Nah, karena di dunia kita uang memang disepakati memiliki nilai sebagai alat tukar, menjadi berhargalah dia. Karena orang-orang bersepakat untuk menjadikannya berharga. Namun sayangnya kuasa uang yang sifatnya sementara ini telah menipu banyak orang. Dijadikannya uang itu tujuan. Dirasakannya hidup itu aman bila memiliki uang. Padahal uang hanya sarana.

Punya uang tak salah, jujur, kita membutuhkannya. Tapi kebutuhannya tidak bersifat mutlak. Kita membutuhkannya dalam jumlah tertentu karena ia menjadi syarat mendapatkan yang sesungguhnya kita inginkan, ya tidak semuanya tentu saja. Hanya sebagian dari yang penting-penting, dan banyak lagi lainnya yang tidak terlalu penting.

Kembali pada pernyataan “orang yang paling banyak memiliki uang adalah orang yang hidupnya paling bergantung pada orang lain”, dalam satu hal adalah benar. Benar secara terbatas pada orang yang hanya memiliki satu sumber kuasa yaitu uang. Jika orang yang memiliki uang banyak tadi bukan hanya memiliki uang saja, tapi hal-hal lain seperti pengetahuan, dan hal-hal yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya tanpa uang, ia bisa memilih untuk menggunakan uangnya atau tidak. Digunakannya uang bukan karena itulah satu-satu alat kuasanya untuk mendapatkan sesuatu, namun karena itulah yang menurutnya sesuai, memudahkan, atau ya, pengen aja. Yah, tapi kalau tidak dibutuhkan sebanyak yang dimiliki, untuk apa punya uang terlalu banyak? Ayo gunakan untuk kebaikan, jangan menumpuk di pundi-pundi kita saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun