Mohon tunggu...
Riqqah Laleno
Riqqah Laleno Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Arab UIN Jakarta

Mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam Mengajarkan Toleransi, tapi Mengapa Muslim Minoritas di Indonesia Masih Terpinggirkan?

19 Juli 2024   17:24 Diperbarui: 19 Juli 2024   17:27 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, negeri yang terkenal dengan keberagamannya, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Kita sering mendengar slogan "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun, seberapa dalam kita memahami dan menerapkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika berhadapan dengan kelompok minoritas di dalam komunitas Muslim sendiri?


Dalam hal ini, penulis akan mengangkat tentang tiga kelompok Muslim minoritas di Indonesia: Syiah, Ahmadiyah, dan Muslim Cina. Masing-masing memiliki cerita unik, tantangan tersendiri, dan tentu saja, kontribusi mereka dalam mewarnai mozaik keislaman di Tanah Air.


Pertama, di mulai dengan Syiah. Banyak orang mungkin pernah mendengar istilah ini, tapi tak banyak yang benar-benar paham. Syiah adalah salah satu mazhab dalam Islam yang memiliki perbedaan pandangan dengan Sunni, terutama dalam hal kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah penerus sah kepemimpinan umat Islam. 


Di Indonesia, penganut Syiah merupakan minoritas. Meski demikian, keberadaan mereka sudah ada sejak lama, bahkan sejak masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Namun, perjalanan mereka tidak selalu mulus. Ada kalanya mereka menghadapi tantangan dan bahkan penolakan dari kelompok mayoritas. 


Contoh kasus yang cukup menghebohkan adalah insiden Sampang, Madura, pada tahun 2012. Saat itu, terjadi konflik antara kelompok Sunni dan Syiah yang berujung pada pengusiran komunitas Syiah dari kampung halamannya. Kejadian ini tentu sangat memprihatinkan dan bertentangan dengan semangat keberagaman yang kita junjung tinggi.


Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan ini? Hal ini bisa disikapi dengan dialog dan saling memahami. Alih-alih menutup mata dan menganggap perbedaan sebagai ancaman, kita bisa membuka diri untuk belajar atau istilah sekarang yaitu open minded. Misalnya, kita bisa mengapresiasi bagaimana komunitas Syiah di Indonesia telah memberikan sumbangsih dalam bidang pendidikan dan sosial, seperti pendirian pesantren dan yayasan sosial yang terbuka untuk semua kalangan. 


Selanjutnya, mari kita beralih ke komunitas Ahmadiyah. Kelompok ini sering kali menjadi sorotan karena keyakinan mereka yang dianggap berbeda dari mainstream Islam di Indonesia. Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi dan Nabi Isa yang dijanjikan, suatu keyakinan yang ditolak oleh mayoritas Muslim. 


Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1920-an. Namun, perjalanan mereka juga tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu contoh kasus yang masih segar dalam ingatan adalah penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, pada tahun 2011.  Peristiwa ini menewaskan tiga orang anggota Ahmadiyah dan mencoreng wajah toleransi Indonesia di mata dunia. 


Meskipun menghadapi berbagai tekanan, komunitas Ahmadiyah tetap berusaha untuk berkontribusi positif bagi masyarakat. Mereka aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan bahkan menjadi penggerak dalam gerakan donor darah nasional. Sikap mereka ini seharusnya bisa menjadi cermin bagi kita semua tentang bagaimana tetap berbuat baik meski menghadapi perlakuan yang tidak adil.
Lantas, bagaimana kita menyikapi perbedaan dengan Ahmadiyah? Sekali lagi, kuncinya adalah dialog dan saling menghormati. Kita bisa setuju untuk tidak setuju dalam hal keyakinan, tapi tetap menghargai mereka sebagai sesama warga negara yang memiliki hak yang sama di mata hukum dan masyarakat. 


Terakhir, mari kita berbicara tentang komunitas Muslim Cina di Indonesia. Mungkin banyak yang tidak sadar, tapi Muslim Cina telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Nusantara. Mereka memiliki peran penting dalam penyebaran Islam, terutama di daerah pesisir utara Jawa. 


Namun, menjadi Muslim sekaligus etnis Cina di Indonesia bukanlah hal yang selalu mudah. Mereka sering kali menghadapi dilema identitas. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari komunitas Muslim. Di sisi lain, latar belakang etnis mereka terkadang membuat mereka dipandang berbeda, baik oleh sesama Muslim maupun oleh masyarakat Cina non-Muslim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun