Percaturan Gunung Penanggungan yang dikenal dengan nama Pawitra, tidak bisa terlepas dari penemuan situs-situs purbakala. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa Kuno, ketika Dewa Wisnu dan Brahma memindahkan Mahameru dengan bantuan ular Resi Naga Wasuki di Bharatawarsa (India) menuju Jawadwipa, bagiannya tercecer di tanah Jawa Timur, dan sepotongnya menjelma menjadi Gunung Penanggungan atau Pawitra.Â
Bahkan, Pawitra sesungguhnya adalah puncak dari Semeru, gunung tertinggi di tanah Jawa ini. Tersebab itulah, dalam kitab Tantu Panggelaran dan Negarakertagama, Gunung Penanggungan dianggap sebagai gunung suci, berkaitan erat dengan religi dan tradisi. Di masa Mpu Sindok dan pra-Majapahit, gunung ini telah hadir sebagai wadah eksistensi kepercayaan masyarakat terhadap gunung sebagai tempat pemujaan para Dewa.
Gunung Penanggungan telah menyimpan ratusan situs yang menjadi catatan arkeologi sebagai bukti bahwa gunung ini lekat kaitannya dengan manusia yang hidup pada zamannya. Sebab itulah, Penanggungan didaulat dengan nama "Sang Kahyangan Jawadwipa". Salah satu situs purbakala di lereng gunung ini adalah Candi Kendalisada.
Candi ini dibangun pada awal kebangkitan Majapahit sebagai pemujaan pada Dewa; mungil, bernilai seni tinggi, dan sarat akan pembelajaran yang hakiki. Candi Kendalisada dikenal sebagai Kepurbakalaan LXV, berteras 3 dengan tiga altar di puncaknya. Di salah satu kompleks gua pertapaan Kendalisada, diukirlah sebuah relief tentang Mintaraga dan Nawaruci, penggalan epik suci Mahabharata.
Mempelajari kepurbakalaan sejatinya bukanlah kembali pada keterbatasan masa lampau. Namun, lebih dari itu, kita mencoba menggali makna sedalam-dalamnya untuk kesucian dan membangun jiwa. Seperti halnya kedua relief tersebut sangatlah sarat akan makna bila kita mau meneropong lebih dalam lagi.
Mintaraga berkisah tentang Arjuna yang sedang bertapa di Indrakila, memohon kejayaan di perang akbar Khurusetra. Namun, tapanya dibatalkan oleh Dewa Indra melalui 7 bidadari pimpinan Supraba, yang meminta bantuan untuk membunuh Niwatakawaca, raja raksasa, yang mengamuk di Kaendran (Indraloka). Sementara itu, Nawaruci menututurkan kisah perjalanan Bhima untuk mencari air kehidupan atau tirta amerta atas perintah mahaguru Drona.
Makna yang dapat kita ambil dari kisah Mintaraga adalah perkara proses. Laku tapa brata dapat diartikan sebagai sebuah pengendalian diri untuk menjalani sebuah proses dari awal sampai akhir dengan cara yang sama, ikhlas. Menerima segala tantangan dan rintangan untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan. Segala sesuatu tidak ada yang jatuh begitu saja dari langit.
Bahkan, hujan pun membutuhkan proses untuk menyentuh tanah. Untuk mencapai tujuan, akan hadir selaksa godaan, mulai keserakahan, kedengkian, amarah, nafsu, dan angkara. Lantas, kembali pada jiwa kita untuk sedia membendung segala godaan tersebut.
Dalam Nawaruci, kisah Bima dalam mencari tirta amerta secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batin guna menemukan identitas dirinya atau pencarian sangkan paraning dumadi 'asal dan tujuan hidup manusia' atau manunggaling kawula Gusti. Dalam kisah ini termuat amanat ajaran konsepsi manusia, konsepsi Tuhan, dan bagaimana manusia menuju Tuhannya.
Seperti terombang-ambing antara yang terkenang dan tertinggal, Candi Kendalisada sebagai minatur dari kepurbakalaan di Nusantara cukup memprihatinkan. Kini, Candi Kendalisada sudah tak seperti masa jaya pendiriannya.
Relief kisah Panji tentang Panji Asmorobangun dan Candrakirana telah rusak dijarah secara paksa. Tak terkecuali, kedua relief Mintaraga dan Nawaruci yang menjadi kajian pembahasan makna tidak luput dari aksi tersebut. Bahkan, kedua relief tersebut sudah tak lagi menghiasi goa pemujaan.