sejak mula, engkau mengajariku tentang ketulusan, tentang pengabdian, tentang pengorbanan. lalu, engkau membujukku dengan rencana-rencana mulia, menyebut diri sebagai saudara. dan aku tak pernah bertanya, aku jawab dengan jiwa taruna, aku telan mentah-mentah.
sejak itu pula, aku menerobos api, menantang badai dan gempa, berlari dengan tubuh penuh luka menganga, batin tercabik-cabik, berdarah-darah, banjir keringat dan airmata, untuk menjaga kehormatan panji-panjimu! dan aku tetap tidak bertanya, tak juga minta apa-apa.
kini, setelah enam belas musim lebih berlalu, aku bertanya-tanya. benarkah nyawa yang telah aku pertaruhkan ini, untuk menjaga kehormatan panji-panjimu, dan luka-luka yang masih belum kering ini, demi wujudnya rencana-rencana mulia itu?
atau, aku ini tak lebih anjing penjaga. juga sekedar alat pengisi pundi-pundi mu! Â dan saat karung serakahmu itu penuh dan hampir pecah, dengan pongah engkau melemparkan padaku remah-remah, lalu kau menyebutnya sebagai penghargaan dan tanda jasa.
dan jika kini kau masih saja terus bicara tentang rencana-rencana mulia, menumpuknya menjadi gunungan janji, sementara engkau terus mengisi penuh pundi-pundi, di saat aku hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku bisa percaya?
sebab tunas kepercayaan tumbuh dari buah kenyataan, dan bagaimana mungkin memetik kenyataan, jika tak ada sebutirpun bibit rencana yang engkau tanamkan?
tapi lihatlah, engkau masih terus bicara tentang rencana-rencana mulia, masih terus menyebut diriku saudara, mengisi pundi-pundimu dan melemparkan remah-remah. cukup...!, tiga musim ke depan, saat tidak ada lagi yang bisa diharapkan, saat padamu tak juga datang kesadaran, walau harus membawa luka berdarah, aku akan mengambil jalan berbeda.
Pamulang 23 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H