udara dipenuhi asap hitam, dari kertas cetakan, tulisan di medsos hingga layar-layar di tiap ruangan keluarga, sesak pengap dengan pemberitaan. makin menguras air mata, makin nyeri menusuk hati, makin ngeri menakutkan, akan makin mendatangkan hujan perhatian.
sebagaimana setiap hujan, ia hadir sebentar, kemudian pergi. untuk sebagian, air hujan adalah berkah untuk membasuh muka, lalu menyuburkan tanaman kasih di ladang-ladang amalan, mengembangkan bunga-bunga di taman-taman empati.
bagi lainnya, ia hanya mendatangkan karat pada nurani dan menumpulkan pikiran, menciptakan banjir emosi sesaat lalu menyisakan onggokan sampah batin yang menyumbat saluran-saluran kebaikan.
maka tak heran, jika petaka tiba, Lombok, Sulawesi Tengah dan Selat Sunda, kita menangisinya. saat ada perang, ketidakadilan, hingga mutilasi, kita ikut melarungkan sedih, dan saat seorang siswi smk pergi, kita ikut merasa sakit dan perih.
lalu, setelah itu apa?
perputaran musim, panas-hujan-panas-hujan akan terus berulang, meninggalkan kita yang harus memilih, menjadikannya sebagai kaca hati, atau membiarkannya melapukkan rasa, layu dan jatuh menjadi debu-debu tanah yang kemudian menguap hilang dari akal dan jiwa.
kalau sudah begitu, kita tak lagi mampu membedakan sinetron penguras air mata dengan sebuah realita yang penuh hikmah!
nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak engkau dustakan? Â Â
Jakarta, 9 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H