Beberapa hari ini kita disentak oleh kejadian keji yang terjadi di distrik Yigi, kabupaten Nduga, Papua. 31 karyawan Istaka Karya dibunuh oleh kelompok yang disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Untuk sementara, pemicu kejadian pun terasa jauh dari masuk akal, hanya karena ada salah satu pekerja Istaka Karya yang mengambil foto kegiatan ulang tahun organisasi tersebut pada tanggal 1 Desember 2018 yang lalu.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Istaka Karya adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ikut ambil bagian dalam proses percepatan pembangunan di Papua. Dan para pekerja yang terbunuh tersebut sedang bertugas mengerjakan proyek jembatan Hebema-Mugi.
Uraian tentang kronologi kejadian tidak usah kita bahas di sini, terlalu sadis dan tidak berprikemanusiaan, lagi pula anda tentu sudah membacanya dari pemberitaan yang luas di media.
Pertanyaan pun muncul, mengapa kelompok ini "hanya" diberi label Kelompok Kriminal Bersenjata?
Kita paham bahwa pelabelan organisasi separatis itu dengan sebutan kelompok kriminal bersenjata, adalah upaya pemerintah untuk tidak mengakui OPM, cara untuk mendeligitimasi dan mengkerdilkan arti dari organisasi tersebut. Â
Akan tetapi, rasanya cukup bijak jika kita juga merasakan adanya keprihatinan sebagian masyarakat bahwa pelabelan ini hanya diberikan kepada satu golongan saja. Sederhananya, kok giliran ada bom gereja disebut teroris, giliran muncul kejadian yang tidak kurang kejinya seperti di atas, kok cuma di sebut kelompok kriminal bersenjata?
Menurut KBBI, teroris adalah: "orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik."
Sementara UU Antiterorisme  nomor 5 tahun 2018, pada pasal 1 ayat 2, memberikan definisi: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
Rasanya kita semua sepakat, apa yang terjadi di Nduga sudah memenuhi definisi teroris pada KBBI maupun terorisme seperti yang dimaknai dalam UU Antiterorisme nomor 5 tahun 2018 di atas.
Dengan demikian, adalah sangat patut jika tindakan keji ini tidak lagi disebut sebagai tindakan dari kelompok kriminal bersenjata, tapi patut kita kutuk sebagai terorisme dan dilakukan oleh para gerombolan teroris bersenjata di Papua. Ini juga sekaligus menjawab rasa ketidakadilan yang muncul dalam pelabelan teroris selama ini, jika ada.