Politik uang di hari pemilihan tuh udah jadi penyakit kronis di dunia politik kita. Bayangin saja, jika momen yang harusnya jadi ajang menentukan masa depan malah dirusak sama amplop-amplop atau barang-barang kecil yang harganya nggak seberapa dibanding dampak jangka panjangnya. Lucunya, semua orang tahu kalau ini salah, tapi tetap aja terus terjadi. Alasannya macem-macem, ada yang karena kebutuhan ekonomi, ada yang nggak peduli, atau malah mikir, "Ya udahlah, toh semua calon juga sama aja."
Padahal, praktik kayak gini tuh ngerusak sistem demokrasi dari akarnya. Suara yang seharusnya mencerminkan keinginan rakyat malah jadi alat transaksi. Yang lebih parah, calon-calon yang ngandelin politik uang biasanya nggak punya visi misi yang jelas. Mereka cuma fokus menang, biar bisa balik modal dan, ujung-ujungnya, nyari keuntungan pribadi atau golongan. Rakyat yang nerima uang itu mungkin seneng sebentar, tapi ke depannya? Masalah kayak korupsi, pembangunan yang nggak merata, atau kebijakan yang nggak pro-rakyat bakal terus terjadi.
Masalahnya, ini juga kayak lingkaran setan. Karena ada yang ngasih, ada juga yang mau nerima. Kadang, rakyat merasa nggak punya pilihan lain. "Daripada nggak dapet apa-apa, mending terima aja," gitu pikirnya. Apalagi kalau hidupnya lagi susah. Di sisi lain, politisi yang nggak mau main politik uang sering kesulitan karena kalah bersaing sama yang main kotor. Jadi, sistemnya terus-terusan kayak gini.
Solusinya jelas tidak mudah. Butuh edukasi ke masyarakat biar mereka sadar pentingnya suara mereka. Selain itu, penegakan hukum juga harus tegas. Kalau ada yang ketahuan main uang, langsung disanksi keras. Tapi, ya, selama kesadaran kolektif kita belum berubah, politik uang ini bakal terus jadi masalah yang susah diberantas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H