Langit pagi di Nusa Tenggara Timur bagaikan kanvas hidup, dihiasi warna biru keemasan dengan lembutnya sinar mentari yang menari di atas hamparan sorgum. Tanaman ini bukan sekadar tumbuhan bagi Pak Nando, seorang petani dari desa kecil di Flores Timur. Ia melihat sorgum sebagai simbol harapan dan kunci menuju masa depan yang lebih cerah. “Dulu, tanpa beras, kami berpikir akan kelaparan,” ungkapnya sambil memanen butiran sorgum matang. “Tapi ternyata sorgum lebih tangguh dari yang kami bayangkan. Kekeringan yang sering melanda desa ini tidak bisa menghentikan pertumbuhannya.” Senyum penuh kebanggaan terlihat saat ia menunjukkan beragam olahan sorgum: tepung untuk kue, bubur hangat, hingga nasi sorgum yang legit.
Cerita Pak Nando hanyalah secuil dari upaya besar untuk menghidupkan kembali warisan pangan lokal Indonesia. Sorgum, salah satu dari ribuan tanaman lokal, hampir tenggelam di bawah dominasi beras, gandum, dan jagung. Di masa lalu, umbi-umbian seperti gadung, gembili, dan serealia seperti jewawut, jali menjadi tumpuan hidup masyarakat Nusantara. Namun, perlahan tanaman ini terpinggirkan seiring bergesernya selera ke makanan modern.
Di sebuah ruangan sederhana yang diterangi lampu minyak, Bu Sinta, seorang nenek berusia 68 tahun, mengingat masa kecilnya. “Saat musim paceklik, kami sering makan jewawut,” kenangnya. “Dulu, tanah di sini penuh tanaman itu. Tapi sekarang, anak-anak muda lebih suka makanan dari kota.” Ceritanya menjadi pengingat betapa cepatnya perubahan gaya hidup melunturkan tradisi. Bu Sinta kemudian menunjukkan sebuah guci tua yang pernah digunakan keluarganya untuk menyimpan jewawut, seolah menegaskan betapa berharganya tanaman ini di masa lalu.
Keprihatinan inilah yang mendorong berbagai organisasi dan individu untuk bergerak, salah satunya Yayasan KEHATI. Mereka bukan hanya fokus pada pelestarian flora dan fauna, tetapi juga pada pentingnya menjaga keberagaman pangan lokal yang semakin tergerus oleh modernitas. "Keanekaragaman hayati adalah identitas kita," ujar seorang ahli lingkungan yang terlibat aktif dalam berbagai inisiatif konservasi pangan lokal. "Jika kita melupakan pangan lokal, kita kehilangan sebagian dari budaya dan jati diri kita."
Namun, melestarikan pangan lokal bukan hanya soal budaya. Pangan lokal juga memiliki keunggulan dalam hal ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrem, terutama di era perubahan iklim. Dalam berbagai penelitian, tanaman seperti sorgum, jewawut, dan gembili terbukti tahan terhadap perubahan iklim. Sorgum, misalnya, mampu tumbuh di lahan kering dengan sedikit air. Jewawut, dengan akarnya yang kuat, dapat mencegah erosi tanah di daerah berbukit. “Pangan lokal itu punya potensi besar dalam membantu ketahanan pangan di masa depan,” kata seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Pangan lokal bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem kita.”
Menurut data dari Badan Pangan Dunia (FAO), lebih dari 820 juta orang di dunia masih mengalami kerawanan pangan. Indonesia, dengan segala potensi alamnya, bisa melakukan lebih banyak hal untuk mengatasi masalah ini. Diversifikasi pangan, termasuk dengan mempromosikan tanaman lokal seperti sorgum, tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada impor pangan, tetapi juga meningkatkan ketahanan pangan lokal. Namun, sayangnya, dengan semakin berkembangnya urbanisasi dan perubahan gaya hidup, banyak masyarakat yang mulai melupakan pentingnya pangan lokal. "Anak-anak sekarang lebih mengenal makanan cepat saji daripada gembili atau beras merah," keluh seorang ibu rumah tangga di salah satu daerah di Jawa Tengah. Ia sangat khawatir jika generasi mendatang semakin jauh dari akar budaya pangan tradisional Indonesia.
Menanggapi hal ini, Yayasan KEHATI yang secara aktif melakukan kampanye untuk melestarikan dan mengenalkan kembali pangan lokal melalui berbagai platform, seperti website kehati.or.id, Instagram, dan media sosial lainnya dengan menggunakan hashtag kampanye #KEHATI dan #RawatBumi. Melalui kampanye ini, Yayasan KEHATI berusaha mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya melestarikan pangan lokal sebagai bagian dari keberagaman budaya dan kearifan lokal Indonesia.
Tidak hanya Yayasan KEHATI, banyak komunitas dan organisasi yang juga menggelar kampanye serupa untuk mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui berbagai media, mulai dari kelas memasak tradisional yang mengajarkan cara mengolah pangan lokal, hingga pemanfaatan media sosial yang lebih kreatif dan modern. Para pelaku kampanye ini sadar bahwa untuk menarik perhatian generasi muda, mereka perlu menggunakan pendekatan yang lebih kekinian dan relevan dengan tren saat ini.
Beberapa grup atau komunitas pangan lokal bahkan mulai berkolaborasi dengan pengusaha muda dan desainer untuk memasarkan pangan lokal dalam kemasan yang lebih menarik dan modern. Hal ini bertujuan agar produk pangan lokal tidak hanya diminati oleh masyarakat lokal, tetapi juga dapat menembus pasar yang lebih luas, baik nasional maupun internasional. Kini, produk pangan lokal seperti chips talas, pasta singkong, atau tepung mocaf sudah mulai mendapatkan perhatian dari pasar, bahkan diekspor ke berbagai negara. Inisiatif-inisiatif seperti ini membuktikan bahwa pangan lokal memiliki potensi besar untuk berkembang dan bersaing di pasar global.