Pena yang Tertinggal, Arloji yang Terabaikan
Oleh: Ripan
Di sudut lemari tua, teronggoklah sebuah pena,
Pernah menari di atas kertas rapuh bernama perjuangan.
Tinta hitamnya kini kering, seperti cerita di baliknya,
Seperti nama Tan Malaka, bapak bangsa yang hilang dari pelajaran.
Ia adalah arloji kecil,
Berputar di pergelangan waktu yang tak dikenal.
Tak pernah berhenti, meski detaknya memudar,
Karena ia tahu, sejarah berjalan tanpa mengenal belas kasihan.
Ada buku catatan tanpa nama di meja kayu reyot,
Kertas-kertasnya mengisahkan ide tentang negara tanpa raja,
Di sana ia menggambar kemerdekaan tanpa belenggu,
Namun siapa peduli? Namanya disembunyikan dalam debu.
Lalu, ada sepatu lusuh di bawah ranjang,
Melewati tapak yang panjang di jalan sunyi revolusi.
Tapak itu menuju tempat di mana kebenaran diperjuangkan,
Tapi jejaknya hilang—terhapus oleh hujan propaganda.
Ia menjadi korek api kecil di kantong tua,
Mencetuskan nyala gagasan, lalu padam, tak dikenang.
Konsep-konsep besarnya tentang republik dan keadilan,
Dikemas sebagai bara bahaya oleh yang takut pada terang.
Ada cangkir teh porselen dengan retakan halus,
Pernah dipegang tangan yang gemetar di masa penantian.
Ia menyeduh mimpi di antara rencana dan pengkhianatan,
Namun kini, ia tersisih, menjadi barang antik tanpa harga.
Di gudang yang dingin, suara-suara terlupakan memanggil:
"Siapa yang menyebutku pengkhianat?
Aku adalah bayang-bayang di tembok sejarah,
Dicap kiri karena terlalu benar."
Tan Malaka adalah surat tanpa amplop,
Ditulis untuk mereka yang belum lahir.
Ia terselip di balik tumpukan kebohongan,
Menunggu hari ketika kebenaran tak lagi buta.
Kini, kita bertanya di bawah bintang-bintang malam:
Apakah bapak bangsa bisa hidup tanpa nama?
Ataukah ia seperti barang yang hilang di rumah sendiri,
Dicari hanya ketika pemiliknya butuh arti?
Tan Malaka,
Engkau adalah pena, arloji, sepatu, cangkir, dan korek api,
Hidup di sela-sela yang terlupa namun tetap abadi.
Di hatimu, Indonesia telah berdiri,
Meski dunia menuduhmu sebagai hantu yang salah mengerti.