Mohon tunggu...
Ripan
Ripan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Di tengah dunia yang berputar cepat, saya adalah penjelajah kata dan perasaan. Saya menulis untuk menghidupkan kembali kenangan indah dan menciptakan pelangi dari kata-kata. Bergabunglah dengan saya dalam perjalanan menemukan keindahan dalam setiap detik dan momen kehidupan. 📖✍️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi di Balik Langit Surau

3 Agustus 2024   23:35 Diperbarui: 3 Agustus 2024   23:38 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi langit malam di atas surau | Pixabay (pixabay.com/AhmadArdity)

Di suatu sudut desa yang sunyi, surau tua bernama Surau Al-Muttaqin berdiri tegak. Tapi, tegak hanya pada namanya. Dindingnya mulai rapuh, dan suara azan tak lagi menggema seperti dulu. Orang-orang di desa lebih memilih untuk tidur panjang di rumah mereka, seolah-olah lupa bahwa ada sebuah rumah Tuhan yang menanti.

Pak Karim, lelaki tua dengan keriput di wajahnya, duduk termenung di serambi surau. “Ah, dulu surau ini penuh tawa anak-anak,” katanya pelan, seperti berbicara dengan angin. Di sudut desa itu, hanya ada Pak Karim dan bayangan masa lalu yang menghantuinya.

Suatu hari, sebuah mobil berdebu berhenti di depan surau. Seorang pemuda keluar, matanya berkilau penuh kenangan. Namanya Raka, putra Pak Anwar yang dulu sering memimpin shalat di surau ini. “Pak Karim, saya pulang,” katanya dengan senyum lebar.

“Raka, kamu sudah besar sekarang,” jawab Pak Karim, suaranya parau seperti pintu kayu tua yang berderit. “Apa yang membawa kamu kembali ke desa?”

Raka menatap surau dengan mata berkilau. “Saya ingin menghidupkan kembali surau ini, Pak. Tempat ini menyimpan terlalu banyak kenangan untuk dibiarkan mati.”

Pak Karim tertawa kecil, pahit. “Anak muda sekarang lebih suka ke kota, mengejar mimpi yang bersinar di sana. Tapi kalau kamu mau mencoba, saya tidak akan menghalangi.”

Dengan semangat yang menggebu, Raka mulai bergerak. Dia mendatangi rumah-rumah, mengajak pemuda-pemudi desa untuk kembali ke surau. “Surau ini adalah jantung desa kita,” katanya dengan penuh semangat, seperti orator ulung yang berpidato di hadapan massa.

Tapi tidak mudah. Banyak yang menolak, bahkan mencibir. “Raka, kamu itu mimpi di siang bolong. Surau ini sudah mati, biarkan saja,” kata seorang pemuda dengan nada mengejek.

Raka tersenyum, meski hatinya terluka. “Mimpi tidak akan mati kalau kita berusaha mewujudkannya,” jawabnya. Dan dia terus berjalan, satu rumah ke rumah lainnya.

Di suatu sore yang cerah, Raka berhasil mengumpulkan beberapa anak-anak di surau. Dia mulai bercerita tentang kisah-kisah nabi, tentang pentingnya kebersamaan dan gotong royong. Anak-anak itu mendengarkan dengan mata berbinar, seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan magis yang memukau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun