Mohon tunggu...
Satria Yudistira
Satria Yudistira Mohon Tunggu... Lainnya - Konsultan

Penulis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelabelan Kemasan Pangan Hanya Menyasar Satu Kemasan, Itu Diskriminatif.

16 Oktober 2022   08:39 Diperbarui: 16 Oktober 2022   08:59 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Media massa masih dihebohkan dengan isu revisi kebijakan per BPOM no 31 tahun 2018 tentang label pangan olahan yang terkesan diskriminatif dan ngawur. Bukan tanpa alasan, wacana kebijakan ini dianggap diskrimintaif karena isi dari revisinya terkesan memaksakan dan hanya berfokus pada satu produk kemasan yang akan dilabeli saja yaitu galon guna ulang berbahan polikarbonat dengan label berpotensi mengandung BPA.


Padahal jelas bahwa galon guna ulang polikarbonat sudah pasti mengandung BPA sebagai perkusornya dalam pembuatan kemasan ini. Meski demikian, nilai kandungannya masih sangat jauh dibawah ambang batas aman yang sudah di tentukan. Maka dari itu kebijakan ini tentulah sangat ngawur secara substansi. Bukan hanya itu, jika alasan utamanya adalah perlindungan kesehatan konsumen seharusnya kemasan pangan lain juga dilabeli karena sudah pasti setiap kemasan plastic pasti mengandung zat kimai sebagai pembentuk bahan dasar utamanya sebagai mana galon sekali pakai plastic PET yang mengandung Zat Antimon.

BPA sendiri dalam diskursusnya diangggap berbahaya karena memang sejatinya adalah zat kimia. Namun demikian kandungannya hanya 0,001 persen dari ambang batas yang bisa mengganggu. Jadi, butuh hingga 10.000 galon dalam satu waktu untuk mencapai batas yang dapat mengganggu hormon dalam tubuh. Hal ini dikonfirmasi oleh dokter spesialis penyakit dalam dr. Laurentius Aswin Pramono, M-Epid bahwa suatu zat hanya bisa menimbulkan gangguan metabolisme tubuh dan endokrin jika kadarnya sangat besar dan dikonsumsi dalam waktu yang sama.

Setelahnya, Aswin menyatakan pada dasarnya semua bahan dan zat kimia sifatnya itu adalah endocrine disruptor. Maksudnya, komponen kimiawi yang menjadi kandungannya bisa menganggu fungsi sistem dan endoktrin serta reproduktif ketika di dalam tubuh.

Pada kesempatan berbeda keamanan kemasan pangan galon guna ulang polikarbonat juga di konfirmasi oleh Ahli kimia sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin yang menegaskan BPA dan Polikarbonat itu adalah dua hal yang berbeda. Maka, tentu perbandingannya sangat mudah, yaitu BPA adalah zat kimia sedangkan polikarbonat adalah jenis plastik yang mana BPA adalah perkusor pembuatannya.  

Zainal melihat ada pihak-pihak yang secara sengaja ataupun tidak sengaja sering hanya melihat dari sisi BPA-nya saja sebagai zat yang disebutkan berbahaya bagi kesehatan. Zainal menambahkan pandangan salah ini diakibatkan karena pemabahannya dilakukan tanpa memahami bahan bentukannya yaitu bahan pembentukannya menjadi plastik polikarbonat yang aman jika digunakan pada kemasan pangan. Menurut Zainal, BPA itu sejatinya memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik polikarbonat. Namun jelas sangat berbeda dengan plastik polikarbonatnnya.

Selanjutnya Zainal mengibaratkan BPA  seperti garam NaCl (Natrium Chloride), yang mana masyarakat bukan mau menggunakan Klor atau Natriumnya, tetapi yang digunakan adalah NaCl yang mana zatnya tidak berbahaya jika dikonsumsi. Menurut Zainal, Natrium itu dasarnya berbahaya bahkan bisa jadi peledak.  Sama dengan Klor yang sama berbahayanya dan bahkan bisa menyebabkan kematian bagi orang yang menghirupnya.

"Jadi dalam memahami ini, masyarakat harus pandai mengerti agar tidak dibelokkan oleh informasi yang bisa menyesatkan dan merugikan," kata Zainal menegaskan mengenai informasi yang sedang hangat terkait Isu pelabelan dan BPA pada galon guna ulang ini.

Maka dari itu, pembahasan mengenai kebijakan pelabelan BPA pada kemasan galon guna ulang polikarbonat ini sangat jelas mengandung kepentingan yang terselubung dan berpotensi persaingan usaha tidak sehat serta tidak termasuk pada prinsip regulasi yang baik.

Hal ini selanjutnya diperjelas oleh Mantan Wakil Presiden Codex Alimentarius Commission (CAC) Prof Purwiyatno Hariyadi yang mengatakan dengan jelas bahwa regulasi keamanan pangan yang  di canangkan oleh BPOM bersifat diskriminatif. Hal ini dikarenakan yang diberlakukan dan terkena regulasi ini hanya pada satu produk tertentu dan maka dari itu regulasi dan peraturan ini bukan termasuk prinsip regulatory yang baik. Menurutnya, hal itu bisa menyebabkan tujuan kebijakan yang mau dibuat tidak tercapai.

Selain itu, di waktu dan kesempatan yang berbeda, kebijakan pelabelan ini juga dipertanyakan oleh Pakar hukum persaingan usaha yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr Ningrum Natasya Sirait SH MLi.,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun