Pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2023 yang lalu telah muncul suatu pernyataan yang cukup mengguncang bagi negeri Kincir Angin. Pernyataan itu datang dari Mark Rutte yang secara moral menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bukan tanggal 27 Desember 1949 seperti yang diakui oleh Belanda selama 78 tahun ini. Namun untuk kali ini, artikel yang saya tulis tidak akan memuat atau menjelaskan mengenai konsekuensi yang harus diterima oleh Pihak Belanda akibat dari pernyataan tersebut. Akan tetapi artikel ini akan membahas mengenai perilaku kolonialitas Belanda yang masih melekat dalam kehidupan kita hingga saat ini.
Menurut Bonnie Triyana dalam pidatonya yang dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 16 Juni 2023 malam bahwa pengertian dari kolonialitas adalah sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme yang masih kita kenali hingga saat ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya, sosial, serta pengetahuan dan produksinya". Jadi berdasarkan pernyataan tersebut maka pengertian dari kolonialitas adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan dampak sosial, budaya, dan epistemik yang mengacu pada cara-cara warisan kolonial. Menurut catatanya setidaknya ada sepuluh dalam kehidupan sehari-hari yang terwarisi dampak dari kolonialisme.
Yang pertama adalah dalam bidang pendidikan. Pemerintah kolonial telah menyediakan fasilitas tetapi tidak untuk semua golongan. Hanya golongan elit saja yang dapat menikmati fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Keadaan yang seperti inilah yang menyebabkan berbagai organisasi pada masa pergerakan mendirikan lemba-lembaga pendidikanya sendiri seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah, NU, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya, dan Mohammad Engku Syafei dengan INS Kayu Tanamnya. Namun oleh pemerintah kolonial Belanda sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi pada masa kemerdekaan tersebut dianggap sebagai sekolah liar. Apabila kita lihat pada era sekarang, kondisi yang hampir sama juga terjadi pada masa kini. Sekolah-sekolah elit dengan fasilitas yang lengkap hanya bisa dinikmati oleh masyarakat golongan atas.
Yang kedua adalah Feodalisme dalam sistem politik di Indonesia. Sistem Feodalisme sebenarnya sudah lama ada dalam masyarakat Indonesia. Sejak dibentuknya VOC pada tahun 1602 mulai dikenal dengan istilah bupati yakni anggota kelompok elit yang berdinas. Para bupati atau penguasa lokal inilah yang menjadi perpanjangan tangan Belanda dan VOC untuk menjalankan politik penjajahanya di Indonesia. Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada era sekarang ini. Namun bedanya bisa dikatakan jika praktok-praktik feodalisme di zaman sekarang adalah feodalisme gaya baru. Feodalisme gaya baru adalah suatu keadaan dimana kebebasan untuk menyampaikan kritikan atau pendapat mencadi terhambat akibat adanya rasa takut atau merasa diri berada pada posisi yang lebih rendah.
Yang ketiga adalah dibidang kesehatan. Sejak zaman penjajahan Belanda, banyak warga yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya. Kondisi tersebut telah mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi stunting yang tentunya akan berdampak pada terhambatnya tumbuh kembang anak. Kondisi yang sama juga masih terjadi pada zaman setelah kemerdekaan bahkan hingga sekarang. Banyak warga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya yang disebabkan oleh kondisi ekonomi keluaga yang mungkin bisa dikatakan jauh dari kelayaka. Kekurangan gizi tentunya akan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak apabila kebutuhan gizi tidak terpenuhi.
Yang keempat adalah diskriminasi sosial. Diskriminasi sosial sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu menerapkan sebuah peraturan yang didasarkan pada pasal 163 Indische Staatsregeling yang isinya adalah membagi penduduk Hindia-Belanda kedalam tiga golongan yakni golongan pertama adalah golongan Eropa, golongan kedua adalah golongan timur asing, dan golongan ketiga adalah golongan pribumi. Golongan Eropa yang berada pada golongan pertama selalu mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang layak baik dibidang pendidikan, transportasi, maupun kesehatan. Sedangkan golongan pribumi yang berada pada golongan ketiga dianggap sebagai golongan rendahan dan hanya mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang seadanya. Diskriminasi sosial juga masih terjadi setelah era kemerdekaan. Di Era Soeharto diskriminasi terjadi pada warga keturunan Tionghoa dimana warga keturunan Tionghoa pada masa itu mendapatkan tanda khusus pada KTPnya, dilarang berpolitik, dan dilarang menjadi pegawai negeri. Kini setelah lebih dari 20 tahun reformasi, diskriminasi rasial terutama yang dialami oleh kelompok minortas masih saja terjadi.
Yang kelima, Belanda juga menganggap bahwa orang Jawa adalah orang yang mendalami sejarahnya namun tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat mitos pemalas. Kondisi alam di benua Eropa yang keras menyebabkan masyarakatnya berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka juga terbiasa bekerja dengan menetapkan target. Berbeda dengan orang Jawa yang kondisi alamnya subur dan mudah ditumbuhi tanaman membuat kinerja orang Jawa terlihat santai dimata orang Eropa.
Yang keenam adalah trauma terhadap paham kiri dan kanan. Kekerasan sering dianggap sebagai sesuatu yang lazim sebagai sebuah resolusi ketika merespon semua hal yang menjadi status quo. Yang ketuju ada mitos jika gaji buruh dinaikan maka akan semakin malas bekerja. Mitos itu tidaklah benar. Buruh justru adalah seseorang yang rajin dalam bekerja karena mereka akan selalu bekerja yang sesuai dengan target-target yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Yang kedelapan yakni praktik stratifikasi sosial yang menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah. Jabatan-jabatan tertinggi akan terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Praktik-praktik semacam ini adalah bagian dari praktik feodalisme yang masih ada hingga sekarang. Didalam praktik feodalisme selalu ada pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sejak awal. Oleh karena itulah mereka memiliki kewenangan untuk memberikan jabatan-jabatan tertinggi kepada orang yang dikehendakinya.
Yang kesembilan adalah budaya patriarki yang masih berlaku hingga kini. Budaya ini terlihat dalam beberapa bidang kehidupan salah satunya adalah politik. Terbatasnya peran kaum perempuan dalam bidang politik dan di beberapa bidang yang lain adalah salah satu contoh budaya patriarki yang masih berlangsung hingga hari ini.
Yang terakhir adalah appartheid dalam pembangunan Kota. Di zaman kolonial Belanda, dahulu pemerintah penjajahan Belanda membagi suatu kawasan kota menjadi tiga bagian yakni kawasan untuk orang Eropa dengan segala fasilitasnya yang lengkap, kawasan untuk orang timur asing, dan kawasan untuk orang pribumi yang umumnya tinggal di area pinggiran kota. Kondisi seperti ini hampir sama yang terjadi di era sekarang dimana saat ini timbul pengembangan perumahan dengan segala fasilitasnya yang umunya jauh lebih baik daripada warga yang tinggal di area perkampungan.